Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jejak Suara Kritis Para Jenderal, Dari Petisi 50 Hingga KAMI

3 Oktober 2020   11:18 Diperbarui: 3 Oktober 2020   11:28 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ada yang mengatakan deklarasi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) merupakan bentuk post power syndrome dari beberapa tokoh penggagasnya, mereka hendaknya belajar sejarah. Sepanjang berdirinya republik ini, kritik kepada pemerintah bisa datang dari siapa saja, apa pun latar belakangnya, termasuk dari para mantan perwira tinggi militer.

Di masa Orde Baru yang dianggap otoriter dan presidennya notabene berasal dari militer, jalannya pemerintahan juga tak luput dari kritikan para purnawirawan jenderal. Salah satunya adalah ketika muncul Petisi 50.

Dengan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa, kami yang bertandatangan di bawah ini, yakni sekelompok pemilih dalam pemilu-pemilu yang lalu, mengungkapkan keprihatinan rakyat yang mendalam atas pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari ulang tahun Kopassandha di Cijantung pada tanggal 16 April 1980. Kami prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang:

a) Mengungkapkan prasangka bahwa di antara rakyat kita yang bekerja keras untuk membangun meskipun mereka mengalami beban yang semakin berat, terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin "melestarikan Pancasila" di satu pihak dengan mereka yang ingin "mengganti Pancasila" di pihak lain, sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat;
b) Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Pada kenyataannya, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu Bangsa;

Itulah sebagian isi dari dokumen Petisi 50. Dinamakan Petisi 50 karena ada 50 tokoh terkemuka yang ikut menandatanganinya. Di antaranya mantan Menhankam dan Ketua MPRS Jenderal (Purn) A.H. Nasution, mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir dan Burhanudin Harahap serta mantan presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia), Syafrudin Prawiranegara.

Dari Grup Diskusi Brasildi hingga Forum Komunikasi Purna Yudha

Penandatanganan Petisi 50 bermula dari kritik beberapa purnawirawan perwira tinggi militer tentang krisis kepemimpinan Orde Baru. 

Dua tahun sebelum Petisi 50 dicetuskan, sekelompok purnawirawan yang tergabung dalam grup diskusi Brasildi (Brawijaya-Sliliwangi-Diponegoro) mengadakan pertemuan secara intensif untuk membahas suasana politik yang dianggap panas pasca pemilu legislatif 1977.

Sesuai akronimnya, grup diskusi itu beranggotakan purnawirawan jenderal ABRI dari 3 komando daerah militer (Kodam). Kodam Brawijaya diwakili G.P.H. Djatikusumo, Sudirman dan M. Jasin. Kodam Diponegoro mengirimkan  Munadi, Brotosewoyo, dan Iskandar Ranuwiharja. Sementara Siliwangi diwakili Kemal Idris, A.Y. Mokoginta, Ahmad Sukendro dan A. Kawilarang. Atas inisiatif Jenderal TNI Widodo yang saat itu menjabat KSAD, grup diskusi Brasildi kemudian dilembagakan menjadi Fosko (Forum Studi Komunikasi) TNI AD 1978 yang dipimpin Djatikusumo.

Masuknya bekas Panglima Siliwangi, H.R Dharsono yang kemudian diangkat menjadi sekjen membuat Fosko semakin bersemangat mengkritik Presiden Soeharto. Mereka menduga ada kecurangan yang dilakukan Partai Golkar pada pemilu 1977 dan mempertanyakan arah dwifungsi ABRI yang tidak jelas karena masuk ke dalam parlemen.

Sepak terjang para purnawirawan jenderal ini membuat KSAD Jenderal Widodo menjadi gerah. Pada Mei 1979, Jenderal Widodo membubarkan Fosko, namun membiarkan para pensiunan militer itu membentuk wadah baru bernama Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha (FKS).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun