Jadi, kita sudah resmi resesi nih?
Kalau kata media-media nasional sih begitu. Padahal Menteri Keuangan Sri Mulyani tak pernah menyebut kata "resmi resesi". Sri Mulyani hanya mengatakan,
"Yang terbaru per September 2020 ini minus 2,9 persen hingga minus 1,0 persen. Negative territory pada kuartal III ini akan berlangsung di kuartal keempat...Perbaikan aktivitas ekonomi masih tertahan membuat investasi masih wait and see," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual bertajuk APBN Kita pada Selasa, 22 September 2020
Nah kan, tak ada frasa "resmi resesi", melainkan "negative territory" alias kondisi minus perekonomian negara. Lagipula, sesuatu yang negatif seharusnya tak perlu "diresmikan". Resesi itu kan negatif, mengapa harus memakai kata "resmi" segala?
Biarkan saja resesi itu mengalir apa adanya. Toh sebelum "diresmikan", kita sudah terbiasa dengan resesi. Jauh sebelum pemerintah mengumumkan "resmi resesi", masyarakat sudah merasakan terlebih dahulu tanda-tandanya. Â
Daya beli melemah, penghasilan masyarakat menurun, PHK di mana-mana, pendapatan kelompok usaha menurun, dan pengangguran bertambah banyak. Tanda-tanda ini bahkan sudah dirasakan masyarakat jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda, yang menjadi alasan utama pemerintah mengumumkan perekonomian kita resmi resesi.
Karena sudah merasakan tanda-tandanya, masyarakat kita juga lebih siap mengantisipasi. Ketika pemerintah mengumumkan kondisi ekonomi akan resesi di kuartal keempat, perekonomian masyarakat sudah mulai bangkit.
Tidak percaya?
Lihat saja fenomena tanaman hias Janda Bolong, atau Monstera adansonii. Sebelum pandemi Covid-19, pernahkah kita mendengar selentingan harga tanaman hias ini? Jangankan tahu harganya, seperti apa tanamannya saja kita mungkin belum pernah mendengar dan melihatnya langsung.
Setelah 7 bulan pandemi Covid-19, nama Monstera Janda Bolong melejit. Harganya menjadi gila-gilaan, di luar kemampuan berpikir orang awam. Ada yang rela menebus satu pot Monstera adansonii variegata yang  bercorak setengah bulan dengan harga puluhan juta rupiah. Masyarakat yang semula tidak menyadari nilai ekonomis Janda Bolong kini menjadi terkejut setengah mati. Masa tanaman yang tidak terurus di kebun belakang rumah bisa berharga jutaan rupiah?