"Panggil saja programmer, tidak ada dua minggu bisa dirampungkan."
Ini mungkin pertanyaan yang sedikit kurang ajar. Tapi jujur saja, sampai sekarang aku masih penasaran. Mengapa Presiden Jokowi sering memberi batas waktu 2 minggu saat memerintahkan pembantu-pembantunya bekerja?
Batas Waktu 2 Minggu Berawal dari Debat Capres 2014
Coba gali kembali jejak digital berita-berita tentang beberapa kebijakan atau perintah Presiden Jokowi kepada menteri-menterinya. Bisa dipastikan perintah itu diiringi dengan tenggat waktu 2 minggu.
Biar tidak lupa, aku ingatkan dengan beberapa tautan berikut ini:
Jokowi Perintahkan RS Corona di Pulau Galang Selesai Dalam 2 Minggu
Jokowi Sebut Masih ada 2 Minggu Hindari Resesi
Jokowi Beri Waktu 2 Minggu, Khofifah Curhat Soal Disiplin Warga
Jokowi Janji Subsidi Gaji Cair 2 Minggu Lagi
Dan yang terbaru:
Jokowi Perintahkan Luhut Atasi Corona di 9 Provinsi Dalam 2 Minggu
Kalau kita mau mundur sedikit ke belakang, asal muasal tenggat waktu 2 minggu ini berawal dari masa kampanye pilpres 2014. Saat itu dalam debat capres-cawapres, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla diminta pendapatnya tentang penerapan e-Government. Dalam pernyataannya, Jokowi mengatakan bahwa penerapan e-Gov itu mudah saja dilakukan.
"Panggil saja programmer, tidak ada dua minggu bisa dirampungkan."
Sejak itu, Presiden Jokowi pun kerap memberi batas waktu 2 minggu untuk menyelesaikan setiap tugas atau permasalahan.
Lalu, di mana masalahnya?
Tidak ada masalah, kecuali rasa penasaran dari seseorang yang punya keingintahuan besar. Sampai sekarang, aku masih belum menemukan jawaban yang tepat dari pertanyaanku di atas.
2 Penafsiran Dari Kebiasaan Jokowi Memberi Batas Waktu 2 Minggu
Meski begitu, aku punya pendapat sendiri dalam menafsirkan kebiasaan Presiden Jokowi memberi batas waktu 2 minggu. Jawaban dari pertanyaanku di atas tergantung dari arah pandang politik kita.
Menunjukkan Sikap Optimis
Bagi orang yang mengidolakan Jokowi dan mendukung apapun kebijakan pemerintah, kebiasaan memberi batas waktu 2 minggu menunjukkan sikap optimis dari Presiden Jokowi. Dengan memberi tenggat waktu yang cukup singkat, Jokowi seolah ingin membesarkan harapan bahwa setiap masalah bisa diselesaikan. Tak ada yang tak mungkin selama kita bekerja keras untuk mewujudkannya.
Selain memberi harapan dan menularkan rasa optimis, batas waktu 2 minggu juga bisa diartikan Presiden Jokowi ingin para pembantunya fokus dalam tugas yang diembannya. Sepertinya Presiden Jokowi mengerti bahwa semakin lama tempo yang diberikan, semakin sulit bagi kita untuk bisa fokus dan berkonsentrasi menyelesaikan tugas secepatnya. Â
"Ah nanti saja, waktunya masih lama."
Mungkin seperti itu kata hati para menteri seandainya Presiden Jokowi memberi waktu lebih dari 2 minggu. Dengan batas waktu yang cukup singkat, para pembantu Jokowi diharapkan serius dan tidak bisa bersantai-santai.
Menunjukkan Kebiasaan Menggampangkan Masalah
Lain lagi bila yang menafsirkan kebiasaan Presiden Jokowi ini orang yang tidak suka, baik secara pribadi maupun dukungannya pada pemerintah. Bagi para oposan, batas waktu 2 minggu ini dapat dianggap sebagai bukti kebiasaan Presiden Jokowi meremehkan atau menggampangkan masalah.
Setiap permasalahan harusnya diselesaikan dengan perencanaan yang matang. Baik itu dari sisi cara kerja maupun batas waktu selesainya. Tidak bisa seorang pemimpin seenaknya saja dalam memberi perintah dan tidak mau tahu bagaimana cara anak buahnya menyelesaikan tugas tersebut. Setidaknya, seorang pemimpin harus memberi arahan yang tepat agar tugas yang diberikan bisa selesai dalam waktu yang sudah ditentukan.
Kalau kita perhatikan, nyaris semua perintah atau tugas yang diberikan Jokowi tidak bisa diselesaikan dalam waktu 2 minggu. Ambil contoh perintah Jokowi agar kepala daerah dapat menekan laju penularan Covid-19 selama 2 minggu. Hingga sekarang atau sudah lebih dari 2 bulan sejak perintah itu diberikan, angka penularan Covid-19 malah semakin meningkat tajam.
Begitu pula dengan janji subsidi gaji cair dalam 2 minggu. Faktanya, pemberian subsidi gaji ini malah molor sampai 3 kali. Apalagi soal penerapan e-Gov yang kata Jokowi ketika debat capres bisa dikerjakan programmer dalam waktu 2 minggu. Kenyatannya, dari 2014 hingga sekarang sistem pemerintahan belum bisa terintegrasi secara digital dengan sepenuhnya.
***
Kesimpulannya, penafsiran terhadap kebiasaan Presiden Jokowi ini tergantung dari bagaimana sikap kita terhadap pemerintah dan Presiden Jokowi itu sendiri. Yang pro pemerintah dan mengidolakan Jokowi melihatnya sebagai sikap yang optimis.
Sedangkan bagi yang tidak suka Presiden Jokowi dan oposan terhadap pemerintah, hal ini menunjukkan kebiasaan Jokowi yang suka menggampangkan setiap permasalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H