Dari antrean paling belakang di payment poin Samsat Alun-alun Malang, aku hanya bisa melihat punggungnya yang sedikit membungkuk, duduk di kursi kecil. Tubuhnya terbungkus jas hitam dan jilbab hitam. Meski tak terlihat raut mukanya, suaranya yang kecil nyaring terdengar.
"Jaga jarak Nak, jangan terlalu dekat" katanya latah mengikuti instruksi petugas pembayaran dari Samsat Kota Malang.
Saat antrean sudah semakin berkurang hingga langkahku semakin dekat, barulah aku bisa melihat sosoknya dengan jelas. Usianya sekitar 60 tahun. Tangan kanannya cacat karena jarinya tersisa 4 ruas, namun masih bisa memegang gelas lusuh dengan baik.
Meski sudah lansia, bicaranya fasih menggunakan bahasa Indonesia. Penglihatannya juga tajam, bisa mengenal penjual gorengan dari jarak yang cukup jauh.
Saat loket Samsat mulai dibuka, dan orang-orang sudah banyak yang antre untuk membayar pajak kendaraan bermotor, ibu tua ini duduk dengan manis di kursi kecil, tepat di depan loket pembayaran.
Disapanya setiap orang yang sudah selesai membayar dan sedang menghitung uang kembalian,
"Sedekahnya Nak, barokallohu."
Tak lupa, tangannya menengadahkan gelas lusuh dengan harapan diisi uang dari para dermawan.
Kalimat sapaanya berubah bila yang melintas di depannya itu perempuan tidak berjilbab, atau sosok lelaki keturunan.
"Berkah Tuhan, Nak. Mohon sedekahnya."
Hampir setiap orang yang selesai membayar pajak dan melintas di depan ibu ini, menyelipkan uang seribu dua ribu. Seandainya dalam satu hari ada 100 orang membayar pajak di payment poin Samsat Alun-alun Malang, ibu ini bisa mengantongi uang sedekah 100 ribuan sehari.