Kepakaran di sini tidak harus dibuktikan dengan sertifikat atau gelar, melainkan lebih karena pengalaman pribadi penulis tersebut. Penulis yang hobi nonton film tentu ulasannya lebih tajam daripada penulis yang jarang nonton. Penulis yang hobi memasak sudah tentu lebih dipercaya artikel kulinernya daripada penulis yang hanya bisa menikmati masakan saja," jelasku.
"Lah, kalau begitu orang-orang generalis seperti aku gak punya kesempatan dong buat nembus headline?" tanya temanku lebih lanjut.
"Kata siapa? Itu kan buah pemikiranmu sendiri. Penulis-penulis yang generalis, atau tidak intens pada satu bidang tertentu punya hak dan kesempatan yang sama. Selama kamu bisa membuat artikel yang memenuhi syarat keunggulan Konten Utama Kompasiana, tulisanmu bisa terpilih jadi headline."
"Nah, masalahnya aku merasa tulisanku sudah bagus dan memenuhi unsur keunggulan Konten Utama. Tapi tetap saja tersingkirkan oleh artikel milik orang-orang itu."
"Begini deh, aku beri contoh sederhana. Â Kamu kenal Angelo Dundee?"
"Enggak. Memang dia siapa Mas?"
"Pelatihnya Muhammad Ali. Coba kamu pikir, untuk apa petinju sehebat Muhammad Ali masih memerlukan pelatih yang seandainya mereka berdua beradu tinju, hampir pasti Muhammad Ali menang."
"Ya namanya pelatih, tugasnya untuk melatih keterampilan tinjunya toh Mas."
"Pelatih tidak hanya melatih keterampilan atau kemampuan teknis. Lebih dari itu, pelatih juga menjadi mata ketiga kita untuk melihat 'Blind Spot' atau 'Titik Buta'.
Mungkin kamu merasa tulisanmu sudah baik, tapi tim Kompasiana punya pemikiran lain. Mereka melihat "Blind Spot" mu. Mereka melihat apa yang tidak bisa kamu lihat. Dalam hal tulisan, entah itu masalah tata bahasa, kedalaman pembahasan, bahkan sampai rewriting tanpa rujukan yang terpercaya. Dan itu semua tak bisa kamu lihat sendiri.
Kalau kamu merasa tulisanmu berkualitas, tetaplah berbangga hati. Kalau tidak terpilih jadi headline di Kompasiana, jangan pernah berkecil hati. Menilai tulisan itu baik atau buruk, layak masuk Konten Utama atau tidak, itu sangat subyektif.