"Pak, peta konsep itu apa?"
"Kenapa?"
"Ini tadi Bu Guru memberi tugas bikin peta konsep, dikumpulkan nanti siang," kata anakku sambil mengangsurkan ponsel.
Kulihat percakapan di grup WhatsApp kelasnya. Benar Ibu Guru memberi tugas untuk membuat peta konsep, namun sekali lagi tidak ada petunjuk atau contoh seperti apa peta konsep yang dimaksudkan.
Jika kalian sebagai orangtua mendapati situasi seperti ini, atau mendapat pertanyaan dari anak tentang pelajaran dan tidak tahu jawabannya, apa yang akan kalian lakukan?
- Mencari jawaban di Google, lalu memberitahukan pada anak
- Menyuruh anak mencari jawabannya sendiri di Google
Karena sibuk, kemungkinan besar kita memilih tindakan kedua: menyuruh anak mencari jawabannya sendiri di Google. Jarang sekali orangtua menyediakan waktu sejenak untuk menemani anak belajar dan memberi jawaban untuk setiap pertanyaan yang mereka ajukan.
Di era digital, segala sesuatu di internet bisa kita jadikan tempat belajar. Kita dimudahkan mencari jawaban dari setiap pertanyaan hingga persoalan hidup cukup dengan menekan tombol "Cari" di mesin pencarian bernama Google.
Boleh dikatakan, tak ada perusahaan teknologi yang bertanggung jawab membentuk kehidupan modern dan penggunaan internet modern seperti saat ini selain Google. Nyaris, setiap apa yang dilakukan manusia di dunia maya berhubungan dengan Google.
Google Bukan Perpustakaan yang Baik
Sayangnya, Google bukan tempat belajar yang baik. Sekalipun mampu menyediakan milyaran sumber informasi hingga julukan "Dewa Maha Tahu" lekat disematkan, Google bukan sekolah atau perpustakaan yang bisa mengajari anak-anak kita.
Sistem pengindeksan Google tidak dirancang untuk sesuai dengan kaidah pencarian informasi yang benar atau kaidah sebuah katalog ilmu pengetahuan. Katalog informasinya Google disusun berdasarkan kepentingan pemasang iklan, karena Google sendiri adalah perusahaan bisnis, bukan organisasi nirlaba.