Diskriminasi Pecinta Kopi
Jangan marah bila aku menilai banyak dari pecinta kopi itu orang yang diskriminatif.Â
Pertama, mereka diskriminatif terhadap kopi instan. Bagi pecinta kopi, industri kopi instan memiliki stigma yang "negatif". Menurut mereka, "Kopi itu digiling, bukan digunting". Seperti inilah adagium yang sering dikatakan para pecinta kopi untuk menunjukkan bahwa minuman kopi itu terbuat dari biji kopi yang langsung digiling, bukan dengan cara menggunting bungkus kopi instan.
Tak jarang pula para pecinta kopi mengatakan, kopi instan sejatinya bukan minuman kopi, tapi minuman berasa dan beraroma kopi. Ini karena kandungan kopi murni dalam satu bungkus kopi instan cuma sedikit saja.
Kedua, mereka juga berlaku diskriminatif terhadap jenis kopi non arabika. Kopi robusta misalnya, sering diremehkan karena aroma coklat dan pahitnya yang terlalu kuat, berbeda dengan kopi Arabika yang lebih banyak beraroma buah-buahan dan sedikit manis. Jika diibaratkan dalam tingkatan struktur sosial, kopi robusta menempati kasta paling rendah, sementara kopi arabika adalah kelas elit dan eksklusif.
Ketiga, dan ini yang paling menjengkelkan, mereka diskriminatif terhadap peminum kopi yang mereka anggap tidak mengerti seni meminum kopi. Bayangkan, hanya gara-gara beda perlakuan terhadap secangkir kopi saja, mereka bawaannya pingin mengajak berantem.
Beneran lho. Seperti temanku yang satu ini.
Minuman Kopi Tak Boleh Diaduk?
Saat nongkrong di kafe beberapa waktu lalu (sebelum ada segala macam protokol kesehatan), kulihat dia tidak mengaduk minuman kopi yang sudah dia pesan.
"Kopimu gak kamu aduk?"
"Buat apa?" jawabnya dengan mimik muka heran.
"Ya biar tercampur rata lah. Kalau gak kamu aduk, bagaimana caranya kopi, gula dan air itu bisa tercampur rata?"
"Lho, justru kalau diaduk, kamu merusak seni dari minuman kopi itu sendiri. Â Bentuknya jadi tidak karuan, berantakan."
"Terus, apa kamu mau melihat kopimu itu sampai pagi? Toh, saat kamu meminumnya, kopi itu tercampur baur!" kataku agak kesal.