Harap-harap Cemas Calon Siswa Baru SMA yang Menanti Pilihan Terbaik
Minggu ini, calon siswa SMA/SMK dan orangtuanya tengah menanti harap-harap cemas. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tengah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia untuk tahun ajaran 2020/2021.
Tidak terkecuali dengan putri sulungku. Setelah mendaftarkan diri di SMAN 1 sebagai pilihan pertama, setidaknya tiap satu jam dia mengecek hasil pemeringkatan PPDB.
Pada PPDB SMA sistem zonasi tahun ini, hasil pemeringkatan ditentukan berdasarkan jarak rumah dengan sekolah pilihan. Setelah itu, pemeringkatan calon siswa berdasarkan usia dan waktu pendaftaran.
Baru hari pertama pendaftaran, asa putriku untuk bisa masuk di sekolah impiannya langsung merosot tajam. Peringkat pendaftarannya perlahan mulai tergeser oleh calon siswa lainnya yang rumahnya lebih dekat.
Rumah kami memang berjarak cukup jauh dari SMAN 1 yang dipilihnya. Tapi, ini satu-satunya pilihan paling logis karena SMA Negeri lainnya berjarak lebih jauh lagi.
Sebagaimana kegalauan yang tengah melanda putriku saat menanti hasil yang terbaik, sejak usia muda kita diajarkan untuk membidik yang terbaik. Sekolah terbaik, perusahaan terbaik, orang-orang terbaik untuk bergaul.
Tetapi bagaimana jika "yang terbaik" itu bukan yang kita butuhkan?
Bagaimana jika, dengan mengelilingi diri kita dengan orang-orang "bergengsi", sekolah favorit, perusahaan terbaik, kita malah menyabot pertumbuhan kita sendiri?
Mungkin kisah lima seniman muda Prancis ini bisa menjadi contoh, bahwa yang terbaik tidak selalu kita butuhkan.
Kisah Seniman Muda Prancis Membidik yang Terbaik
Paris, 1860-an.