Dengan Berbeda Kita Cenderung Lebih Banyak Belajar
Saya pernah bertanya pada guru agama,
"Mengapa Allah menciptakan manusia berbeda-beda? Bukankah dengan Kekuatan dan Kekuasaan-Nya Allah bisa menciptakan manusia yang seragam? Satu Suku, Agama, Ras dan Satu Golongan saja?
Guru saya menjawab,
"Ya, seandainya Allah menghendaki, Dia bisa membuat 7 milyar manusia di muka bumi ini memiliki satu agama dan keyakinan, punya warna kulit yang sama, berbahasa yang sama, dan beradat istiadat yang tidak berbeda. Tapi, atas kehendak-Nya pula Allah menciptakan umat manusia di muka bumi ini berbeda-beda.
Karena pengetahuan kita terbatas, kita tidak tahu seperti apa kehendak Allah yang sesungguhnya. Jadi, pertanyaanmu itu kita kembalikan kepada Allah. Sesuai dengan iman yang kita yakini, kita harus percaya penuh bahwa Allah menciptakan umat manusia berbeda-beda itu punya tujuan dan maksud tertentu.
Kita hanya bisa mengambil hikmah, bahwa Allah menciptakan umat manusia berbeda-beda warna kulit dan bahasa itu supaya kita belajar menghargai perbedaan itu sendiri. Bukankah justru dengan berbeda kita cenderung lebih banyak belajar? Belajar sesuatu yang baru, memahami sudut pandang baru, dan merasakan pengalaman baru.
Kalau semuanya seragam, kita tidak bisa belajar banyak. Kita tidak bisa mengembangkan akal pikiran yang sudah dianugerahkan Allah untuk mempelajari hal-hal yang baru."
Nasihat guru saya itu kembali terngiang setelah mengamati perkembangan kasus unjuk rasa di Amerika Serikat yang semakin meluas. Aksi unjuk rasa bertema "I Can't Breathe" itu dipicu tewasnya pria kulit hitam bernama George Floyd oleh seorang polisi kulit putih Minnesota.
Diskriminasi ras dan warna kulit di Amerika Serikat bukan hal yang baru lagi. Namun, semenjak Donald Trump menjadi presiden, kasus kekerasan dan pelecehan terhadap warga kulit berwarna (non kulit putih) semakin sering terjadi. Puncaknya saat George Flyod tewas usai lehernya diinjak dan dihimpit kaki seorang polisi kulit putih. Sebelum tewas, Floyd sempat memohon dan berkata "I Can't Breathe", namun polisi tersebut tidak menghiraukannya.
Solidaritas terhadap aksi unjuk rasa yang berkembang menjadi kerusuhan massal di Minnesota dan beberapa wilayah di Amerika Serikat menjalar ke banyak negara. Tak pelak, aksi unjuk rasa di Amerika Serikat dikhawatirkan dapat memantik aksi yang serupa jika saja ada satu kasus diskriminasi berlatarbelakang SARA.