Selain itu, saat mengirimnya kita sering memakai fitur siaran/broadcast pada banyak penerima. Tidak spesifik ditujukan pada siapa salam tersebut, meskipun memang benar kita mengirimnya satu per satu pada orang-orang tertentu. Dengan satu kalimat yang sama, semua kontak pertemanan yang kita pilih dapat menerima pesan secara bersamaan.
Berbeda bila kita mengucapkan maaf dengan bertatap muka secara langsung pada orang yang hendak kita mintakan maaf. Menurut guru ngajiku dulu, etika bermaaf-maafan yang baik saat hari raya itu seyogyanya dengan saling menyebut nama dan menyebut kesalahannya.
Misalnya, "Mas Joko, selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin ya. Saya kapan hari pernah mengambil buah mangganya tanpa ijin."
Mengucapkan permintaan maaf dengan menyebut nama orang yang dituju jauh lebih mantap, terkesan akrab, komunikatif dan sangat spesial karena target atau penerima ucapan itu kita sapa secara langsung.
Kalau kita bertemu langsung, hampir pasti secara otomatis kita akan menyebut nama, sekalipun kebanyakan kita masih enggan menyebutkan kesalahan yang pernah diperbuatnya. Karena bagaimanapun juga, salah adalah manusiawi sedang maaf adalah sifat illahi. Itulah sebabnya tidak mudah bagi kita untuk meniru, apalagi mencapai kata maaf, meminta dan memberi maaf. Sebab itu adalah sifat illahi.
Pintu maaf itu kecil, sempit, rendah, perlu membungkuk (merendahkan tubuh) untuk memasukinya. Berapa banyak dari kita yang bersedia membungkuk merendahkan tubuh untuk meminta maaf?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H