Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Salahkan Pemudik yang Hendak Pulang Kampung

23 April 2020   22:47 Diperbarui: 23 April 2020   22:51 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keputusan warga untuk mudik ke kampung halaman tidak bisa disalahkan begitu saja (foto ilustrasi: ANTARA/Asep Fathulrahman melalui republika.co.id)

Namun, pernahkah orang-orang seperti ini memikirkan nasib mereka seandainya mereka masih bertahan di perantauan? Pernahkah kita merasa peduli dengan orang-orang udik yang demi sesuap nasi rela merantau jauh dari keluarga di kampung halaman?

Dibandingkan kita yang masih berkecukupan dan memenuhi himbauan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah, orang-orang udik ini dua kali menghadapi risiko. Risiko tertular virus corona selama perjalanan mudik mereka, dan risiko dijauhi tetangga hingga sanak saudara karena dianggap sebagai penyebar virusnya.

Tapi mau bagaimana lagi, bagi mereka inilah satu-satunya pilihan yang realistis. Layaknya ungkapan yang berasal dari teori evolusi Darwin,  "survival of the fittest", beginilah cara mereka menghadapi mekanisme seleksi alam. Orang-orang ini, pemudik yang sedang dan hendak pulang kampung hanya ingin bertahan menghadapi ganasnya persaingan hidup di tengah pandemi Covid-19.

Kita Menghadapi Badai yang Sama di Kapal yang Berbeda

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19, kita memang menghadapi badai yang sama. Tapi kita masing-masing menaiki kapal yang berbeda-beda. Kapal kita bisa saja selamat, dan kapal mereka mungkin saja karam. Atau sebaliknya.

Di twitter, ada netizen yang memposting kemarahannya pada masyarakat yang masih bandel berkeliaran di luar rumah, sementara dia baru saja kehilangan ayahnya yang dibunuh virus corona. Lewat berita kita tahu, Ibu Yuli meninggal dunia setelah 2 hari hanya minum air galon karena tak ada bantuan sosial dari siapapun di sekitarnya.

Bagi sebagian orang, bekerja dari rumah itu menyenangkan. Mereka bisa berkumpul dengan keluarga, menikmati kebersamaan yang sebelumnya tak pernah mereka dapatkan.

Bagi yang lain, pembatasan sosial berarti krisis keuangan dan keluarga yang menyedihkan. Pilihannya cuma dua: membiarkan keluarga mati kelaparan atau nekat melanggar karantina dengan risiko tertular virus corona.

Ini fakta, bukan sekedar distopia. Virus corona hampir membunuh semua sendi kehidupan kita. Kecuali satu, kebaikan kita pada sesama.

Jangan hanya bisa menyalahkan atau menghakimi para pemudik yang pulang kampung. Daripada energi kita habis percuma, lebih baik ulurkan tangan. Selamatkan mereka yang sedang berjuang mempertahankan kapal yang hendak karam, agar kita bisa menghadapai badai ini layaknya satu gelombang di lautan yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun