Tidak sekali ini saja Laksamana Malahayati menunjukkan keberanian dan bakat kepemimpinannya. Pada 1600, sekelompok kapal Belanda yang dipimpin oleh Paulus van Caerden, merampok kapal dagang lada Aceh di lepas pantai Aceh.
Pada Juni 1601, armada kapal Belanda yang dipimpin Admiral Jacob van Neck mendekat ke pelabuhan Aceh. Awalnya, mereka memperkenalkan diri sebagai pedagang yang hendak membeli rempah-rempah.
Namun, ketika tahu mereka berasal dari Belanda, Laksamana Malahayati memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Jacob van Neck. Langkah Malahayati ini didukung Sultan Alaudin dengan alasan sebagai kompensasi atas perampokan yang dilakukan armada kapal pimpinan Paulus van Caerden.
Penangkapan Admiral Jacob van Neck mengusik kerajaan Belanda. Pangeran Maurits van Oranje lantas mengirim utusan disertai surat permintaan maaf diplomatik yang dibawa Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy.
Pada Agustus 1601, Laksamana Malahayati bertemu kedua utusan itu dan mengadakan perjanjian. Gencatan senjata disepakati dan Belanda membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi atas tindakan Paulus van Caerden, sementara Malahayati membebaskan tahanan Belanda.
Reputasi dan keperkasaan Laksamana Malahayati sebagai penjaga kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam membuat kerajaan Inggris -- yang saat itu sedang berlomba dengan Belanda dan Portugis mencari jalur perdagangan di Asia --memilih jalan diplomatik. Pada 1602, James Lancaster memimpin armada Inggris dengan bekal sepucuk surat dari Ratu Elizabeth I. Laksamana Malahayati ditunjuk Sultan Alaudin untuk memimpin negosiasi dengan Lancaster.
Perjanjian yang diteken Malahayati dan James Lancaster tersebut akhirnya membuka rute Inggris ke Jawa. Hingga kemudian kerajaan Inggris berhasil membangun kantor dagang di Banten. Atas keberhasilan diplomasinya dengan Aceh dan membuka kantor dagang di Banten, James Lancaster dianugerahi gelar bangsawan oleh Ratu Elizabeth I.
Malahayati, dari Janda Menjadi Laksamana
Sejarah perjuangan Laksamana Malahayati adalah bukti bahwa sejak dahulu kaum wanita Indonesia bisa mengambil peran yang tak kalah penting dengan kaum pria. Jauh sebelum Raden Ajeng Kartini menuliskan gagasannya tentang emansipasi wanita.
Malahayati memang tidak menuliskan pemikirannya. Sebaliknya, perempuan bernama asli Keumalahayati ini langsung memberi teladan melalui praktik kehidupannya sendiri.
Malahayati adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari pihak ayah  adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530--1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513--1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Usai menamatkan pendidikan agama di pesantren, Malahayati memilih jalur militer sebagai pilihan hidupnya. Malahayati ingin meneruskan jejak ayah dan kakeknya, menjadi pimpinan armada laut. Pilihan yang tidak umum mengingat pada masa itu jalur militer dikuasai kaum pria.