"Mas, ada kabar dari kartu prakerja?"
Tanpa menoleh, aku sudah tahu siapa yang menyapaku. Udin, tetanggaku yang kemarin minta tolong mendaftar kartu prakerja.
"Kamu kok malah tanya aku, Din. Yang daftar siapa, yang butuh kartu prakerja siapa," kataku agak menggerutu. Sekali lagi pagi hariku harus terganggu olehnya.
Sambil nyengir, Udin membuka pintu pagar lalu duduk di kursi teras yang biasa kutempati. Teh hangat yang baru dihidangkan istriku langsung diminum tanpa meminta ijin.
Usai ke dapur dan meminta istriku untuk membuat satu gelas teh lagi, kutemani Udin di teras depan rumah. Tak lama kemudian, istriku datang membawa teh hangat yang kuminta.
"Aku kopi aja Mbak, gulanya sedikit," kata Udin.
"Kamu kira ini warung kopi? Main pesan seenaknya saja," timpal istriku sebal, namun tak urung tertawa juga mendengar permintaan Udin.
Lama kami berdua berdiam diri. Aku sibuk menggeser layar handphone, menelusuri umpan-umpan berita dan postingan teman media sosialku. Udin sendiri hanya termenung. Matanya yang memandang kejauhan menyiratkan ia sedang banyak pikiran.
"Gak ada kerjaan buatku Mas?" tanya Udin memecah kebuntuan percakapan kami.
"Belum ada Din," sahutku.
Sehari-hari, Udin bekerja serabutan. Kadang jadi kuli, kadang jadi pengantar barang pesanan. Paling sering dia diminta istriku untuk mengantarkan hasil jahitan ke pelanggan.