Saat terjadi kelangkaan masker akibat panic buying beberapa waktu lalu, Istriku yang penjahit rumahan sering diminta membuat masker sendiri.
"Mbak, kamu gak bikin masker? Mumpung lagi banyak yang butuh nih."
Berkali-kali istriku menolak, meskipun beberapa temannya yang punya usaha konveksi mengambil kesempatan dengan membuat masker wajah non medis.
Namun, keengganan itu sontak berubah tatkala beberapa keluarga kami menderita batuk. Karena masker masih langka di pasaran, kakak iparku meminta istriku untuk membuat membuat masker wajah (bukan masker bedah/surgical mask) sendiri.
Berbekal saran dari dokter yang praktek di dekat rumah, akhirnya istriku bisa membuat masker wajah "isi ulang". Masker ini berbahan kain drill, sejenis kain yang biasa digunakan untuk seragam tenaga medis.
Setelah dipotong-potong, dua kain dijahit, dengan menyisakan satu sisi yang terbuka. Gunanya agar masker ini bisa diisi dengan tisu wajah. Selama masker wajah dari kain drill ini tidak lembab atau basah, kita tinggal mengganti tisunya saja tanpa perlu mencuci maskernya.
Dalam satu hari, istriku berhasil membuat 20 masker "isi ulang. Masker ini kemudian dibagikan ke saudara-saudara sendiri, lalu ke beberapa tetangga sekitar rumah. Anakku dan teman-teman sebayanya di sekitar rumah dengan senang hati memakainya karena kata mereka jadi mirip "ninja".
Ketika istriku mengunggah kain buatannya di status WhatsApp, tak dinyana banyak temannya yang berminat dan minta dibuatkan. Iseng aku bertanya padanya,
"Gak sekalian bikin yang banyak biar bisa dijual?"
"Nggak. Rasanya kok gak tega," jawabnya.