Pengumuman pemerintah tentang adanya dua kasus positif virus corona COVID-19 menimbulkan kepanikan luar biasa di masyarakat. Warga, terutama di daerah sekitar tempat tinggal pasien yang diidentifikasi positif terinfeksi virus corona memborong masker, hand sanitizer hingga bahan makanan.
Hoax Menjadi Sebab Utama Kepanikan di Masyarakat
Aksi panic buying ini menjadi bukti ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi efek sosial dari mewabahnya virus corona. Ketidaksiapan itu terutama dalam mencegah penyebaran informasi palsu atau berita-berita hoaks.
Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Â hingga Selasa (3/2) sudah ada 147 hoax dan disinformasi terkait wabah COVID-19. Berita palsu dan informasi menyesatkan itu mencapai puncaknya saat pemerintah mengumumkan adanya dua warga Depok yang positif terinfeksi virus corona.
Hoax dan disinformasi itu tidak hanya seputar teori konspirasi, melainkan juga saran kesehatan yang menyesatkan. Beberapa hoax yang beredar di media sosial diantaranya adalah:
- Setelah Virus Corona, Kini Muncul Virus Zika yang Sangat Berbahaya di Indonesia (hoax)
- Informasi dari Kemenkes Mengenai 6 Kota Zona Kuning Virus Corona di Indonesia (hoax)
- Paus Fransiskus Positif Coronavirus (disinformasi)
- Vitamin D Efektif dalam Mencegah Infeksi Virus Corona (disinformasi)
- Perbandingan Antara Darah Orang yang Terinfeksi Virus Corona dengan Orang Sehat (disinformasi)
Dunia Ikut Melawan Penyebaran Virus Hoax
Perang terhadap hoax seputar virus corona tak hanya terjadi di Indonesia. Sejak munculnya wabah virus corona di kota Wuhan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tak hanya berjuang melawan virus penyakit, mereka juga harus berjuang melawan virus lain yang tak kalah berbahaya, yakni hoax.
"Penyebaran informasi yang keliru itu menantang tetapi WHO siap untuk ini. Sementara organisasi itu dikenal karena memerangi epidemi, ia juga memerangi 'infodemik,' "kata seorang juru bicara WHO dalam pernyataan email kepada TIME.
Di tengah kekacauan informasi tentang virus corona, raksasa internet seperti Google, Facebook dan Twitter meluncurkan upaya untuk menahan penyebaran informasi yang salah melalui inisiatif mereka sendiri. Salah satu cara adalah dengan mempromosikan tautan ke situs WHO, lembaga kesehatan pemerintah daerah, dan tips berguna dari sumber terpercaya tentang cara melindungi diri dari kemungkinan infeksi.
Beberapa organisasi berita terkemuka seperti New York Times dan The Guardian juga menerbitkan grafik, memvisualisasikan data, dan bahkan membuat ilustrasi sederhana untuk membantu menjelaskan dengan lebih baik keseriusan masalah kesehatan global ini.
Berbeda halnya dengan media di Indonesia. Demi mengejar jumlah click dan viewer, beberapa media utama Indonesia malah termakan berita hoax. Seperti disinformasi Paus Fransiskus positif corona.
Selain itu, media mainstream di Indonesia juga kerap menulis berita dengan judul yang cenderung provokatif dan menimbulkan kesalahan persepsi di masyarakat. Misalnya, pasien yang masih suspect diberitakan dalam bingkai seolah sudah positif. Ujungnya, banyak masyarakat yang terlanjur percaya dengan berita-berita tersebut menjadi panik.
Peran Blogger dalam Memerangi Hoax Virus Corona
Melawan penyebaran hoax kesehatan, terutama di tengah krisis kesehatan global akibat wabah virus corona tidak bisa hanya mengandalkan tangan pemerintah saja. Ini karena media pemerintah dan media mainstream juga kadang tidak bisa terjamin kebenaran setiap beritanya.