Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kita Tak akan Pernah Jadi Ahli Jika Takut Jadi Pemula

17 Februari 2020   00:27 Diperbarui: 17 Februari 2020   00:29 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yang ahli selalu pernah jadi pemula (unsplash.com/Meggie Markle)

Sekalipun tersisih babak 9 besar ajang Masterchef Indonesia Musim ke-6, Putu Wahyu, kontestan asal Buleleng, Bali mendapat pujian dari para juri kontestan lain. Chef Juna memuji pencapaian Putu karena menjadi orang Bali pertama yang bisa melaju ke 10 besar Masterchef Indonesia Season 6.

Yang menarik adalah pujian dari Chef Arnold dan beberapa kontestan lainnya. Mereka seolah sepakat bahwa Putu adalah salah satu kontestan Masterchef yang patut dihargai perjuangannya.  

Bisa masuk dalam 10 besar Masterchef Indonesia adalah pencapaian yang tidak mudah bagi Putu mengingat saat pertama kali ikut ikut audisi, dirinya hanya mengenal dan menguasai masakan Bali. Namun, ketika lolos sebagai peserta Masterchef Indonesia Season 6, Putu bekerja keras untuk bisa memasak berbagai jenis makanan yang bahkan beberapa diantaranya belum pernah ia cicipi sebelumnya.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari Putu Wahyu ini?

Dia tidak takut untuk jadi pemula!

Putu Wahyu, kontestan Masterchef Indonesia Season 6 (instagram@putu_mci6)
Putu Wahyu, kontestan Masterchef Indonesia Season 6 (instagram@putu_mci6)

Selalu Membandingkan Diri Membuat Kita Takut Jadi Pemula

Kebanyakan kita selalu membandingkan apa yang baru kita kerjakan di awal dengan apa yang sudah dihasilkan orang lain saat mereka sudah mencapai kesuksesan. Akhirnya, yang kita dapatkan hanya perasaan rendah diri.

Apalagi kita hidup di dunia di mana mudah sekali bagi seseorang untuk membandingkan diri dengan orang lain. Pikirkan 'budaya suka' yang dibuat oleh situs media sosial. Ketika harga diri ditentukan oleh jumlah interaksi yang didapatkan pada foto, gambar atau pembaruan status.

Saat saya pertama kali menulis, baik di blog pribadi atau di Kompasiana, saya pernah "takut menjadi pemula". Saya membandingkan artikel saya dengan artikel lain yang mendapat banyak komentar dan penilaian.

Akibatnya, rasa rendah diri itu muncul. Saya merasa setiap artikel yang saya tulis adalah sampah. Rasanya seperti terjebak dalam tubuh anak TK yang baru belajar menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun