Kalau pemerintah mau "open minded", Reuni 212 bisa dijadikan destinasi dan event wisata religi yang potensinya sangat besar.
Berapa banyak massa yang datang saat acara yang diselenggarakan setiap tanggal 2 Desember di Monas, Jakarta ini? Maaf, saya tidak bisa menerima jawaban berdasarkan perasaan atau penerawangan.
Karena tidak ada jawaban yang pasti, mari kita ambil hitungan kasarnya saja: ratusan ribu. Setiap tanggal 2 Desember, ratusan ribu massa datang ke Monas, berkumpul bersama, larut dalam kebersamaan dengan tertib tanpa meninggalkan sampah yang berserakan. Bukankah ini sangat indah? Bukankah ini bisa menjadi potensi pariwisata?
Lihatlah, yang datang tidak hanya warga sekitar Jakarta saja. Sebagian besar datang dari luar kota. Malah ada beberapa muslim mancanegara yang secara khusus datang hanya untuk melihat seperti apa suasana Reuni 212, yang boleh dikatakan menjadi ajang pertemuan, ajang silaturahim terbesar di Indonesia.
Adakah acara lain yang bisa mengumpulkan massa sebanyak itu dalam satu waktu dan satu tempat, dengan tertib, bersih, aman dan lancar? Bahkan konser musik dari musisi terkenal di dunia pun tidak akan bisa mengumpulkan penonton ratusan ribu orang, dan ketika selesai tempat penyelenggaraannya bersih seperti sedia kala.
Mendefinisikan Ulang Konsep Wisata Religi
Di luar tujuan utamanya (politis atau non politis), acara ini menyimpan potensi wisata religi yang sangat besar. Namun sebelum membahas potensinya, mari kita definisikan ulang, seperti apa konsep wisata religi itu sendiri.
Secara terminologi, sebenarnya tidak ada istilah "Wisata Religi". Itu kalau kita melihatnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Di sana, hanya ada arti kata "wisata", yakni: bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya); bertamasya. Serta arti kata "religi", yaitu: kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; kepercayaan (animisme, dinamisme); agama.
Nah, kalau digabungkan dua kata tersebut dalam satu istilah, maka "wisata religi" bisa diartikan sebagai "bepergian bersama-sama untuk memperluas pengetahuan tentang kepercayaan kepada Tuhan".
Pengertian ini setidaknya sama dengan pengertian dari wikipedia yang menjelaskan wisata religi atau "religious tourism" sebagai: jenis pariwisata, di mana orang bepergian secara individu atau berkelompok untuk tujuan ziarah, misionaris, atau rekreasi.
Dalam budaya masyarakat kita sendiri, wisata religi sering diartikan sebagai "bepergian ke tempat-tempat yang dianggap memiliki nilai religi". Tujuannya bisa ke masjid, ziarah ke makam Wali atau ulama terkenal, atau ke tempat-tempat lain yang memiliki nilai sejarah keagamaan.
Hingga saat ini, belum ada studi definitif tentang pariwisata religi di seluruh dunia. Namun, beberapa segmen (menurut tempat dan kepercayaannya) dari industri ini telah diukur. Hasilnya, pariwisata religi setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah partisipasi yang signifikan.
Seperti yang dilaporkan Organisasi Pariwisata Dunia, sekitar 300 hingga 330 juta peziarah mengunjungi situs-situs keagamaan utama dunia setiap tahun. Sementara pariwisata religius Amerika Utara diperkirakan menghasilkan nilai $ 10 miliar dari industri ini.
Menurut Bordieu (1991) dan Reader (2014) dalam makalah berjudul Religiousness as tourist performances: A case study of Greek Orthodox pilgrimage (Terzidou et.al, Annals of Tourism Research, 2017), Â sebagian besar lembaga keagamaan telah menginstruksikan orang (pemeluk agamanya) untuk mengunjungi tempat-tempat suci tertentu dan untuk terlibat dalam pertunjukan keagamaan, mengakui kekuatan tempat dan pertunjukan di dalamnya dalam menghasilkan pengalaman tertentu dan membangun kepercayaan agama.
Dengan demikian, meskipun tempat-tempat keramat biasanya berbeda satu sama lain dalam hal penampilan, bentuk dan ukuran, mereka berbagi kualitas yang membangkitkan kekaguman dan kasih sayang, menciptakan apa yang oleh Tuan (1974) disebut 'topofilia', yaitu keterikatan pada tempat tersebut.
Lebih lanjut, Benjamin (1936) mengaitkan ini dengan 'aura' suatu tempat atau objek, yang dipahami sebagai jumlah dari konteks historis, budaya dan profil tempat tersebut bagi pengunjung yang dapat dialami hanya jika tempat atau objek tersebut dapat dihubungkan dengan pemahaman seseorang tentang dunia, dalam hal ini dunia keagamaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa suatu tempat atau obyek bisa dijadikan destinasi wisata religi jika memenuhi tiga kondisi berikut:
- Memiliki 'aura' keagamaan karena konteks historis atau budaya
- Menghasilkan pengalaman tertentu dalam membangun kepercayaan agama
- Membangkitkan kekaguman dan kasih sayang karena menciptakan keterikatan
Sebagian besar tempat-tempat atau obyek yang 'disucikan' berbagai pemeluk agama memenuhi tiga syarat kondisi tersebut. Betlehem, Tembok Ratapan, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha dan beberapa makam orang-orang yang 'disucikan' serta tempat-tempat keramat lain yang dianggap bisa menghasilkan pengalaman dalam membangun kepercayaan agama.
Setiap agama tidak menafikan adanya wisata religi, jika itu dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan dan menghasilkan pengalaman tertentu dalam membangun kepercayaan agama. Dalam Islam sendiri, hadist dari Bukhari berikut ini bisa dimaknai sebagai "dasar hukum" adanya wisata religi dan tempat yang dianjurkan untuk dikunjungi.
"Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi)" (Bukhari nomor 1197).
Menjadikan Reuni 212 Sebagai Event Pariwisata Religi Tingkat Dunia
Nah, setelah kita mendefinisikan (sementara) hakikat wisata religi, mari kita lihat apakah acara Reuni 212 layak dan memenuhi persyaratan kondisi untuk dijadikan destinasi wisata religi. Dari konteks historis dan budaya, lapangan Monas, tempat diselenggarakannya acara Reuni 212 tidak memiliki aura keagamaan.
Tapi ketika acara itu diselenggarakan, tempat atau obyek di mana Reuni 212 digelar memiliki pengalaman dalam membangun kepercayaan agama, serta mampu membangkitkan kekaguman dan kasih sayang karena menciptakan keterikatan.
Saya sendiri belum berkesempatan merasakan pengalaman langsung ikut Reuni 212. Tapi, dari berita-berita serta kabar yang dibawa peserta di media sosial, saya bisa membayangkan bagaimana suasana yang tercipta saat Reuni 212.
Begitu indah, begitu menakjubkan. Tak salah apabila ada yang bilang, Reuni 212 adalah acara ajaib.
Lantas, mengapa Reuni 212 tidak bisa dijadikan destinasi wisata dan event pariwisata religi? Seandainya pemerintah (provinsi atau pusat) bekerja sama dengan pihak-pihak terkait lainnya mau mewadahi event ini, saya percaya Reuni 212 bisa menjadi event pariwisata religi tingkat dunia.
Alih-alih menghembuskan isu-isu tak sedap yang berujung timbulnya kecurigaan, alih-alih 'menghalangi' peserta dari luar Jakarta untuk datang, alih-alih berpikiran negatif, pemerintah bisa mengakomodir event ini dan memasukkannya dalam kalender kunjungan wisata (religi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H