Hingga saat ini, belum ada studi definitif tentang pariwisata religi di seluruh dunia. Namun, beberapa segmen (menurut tempat dan kepercayaannya) dari industri ini telah diukur. Hasilnya, pariwisata religi setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah partisipasi yang signifikan.
Seperti yang dilaporkan Organisasi Pariwisata Dunia, sekitar 300 hingga 330 juta peziarah mengunjungi situs-situs keagamaan utama dunia setiap tahun. Sementara pariwisata religius Amerika Utara diperkirakan menghasilkan nilai $ 10 miliar dari industri ini.
Menurut Bordieu (1991) dan Reader (2014) dalam makalah berjudul Religiousness as tourist performances: A case study of Greek Orthodox pilgrimage (Terzidou et.al, Annals of Tourism Research, 2017), Â sebagian besar lembaga keagamaan telah menginstruksikan orang (pemeluk agamanya) untuk mengunjungi tempat-tempat suci tertentu dan untuk terlibat dalam pertunjukan keagamaan, mengakui kekuatan tempat dan pertunjukan di dalamnya dalam menghasilkan pengalaman tertentu dan membangun kepercayaan agama.
Dengan demikian, meskipun tempat-tempat keramat biasanya berbeda satu sama lain dalam hal penampilan, bentuk dan ukuran, mereka berbagi kualitas yang membangkitkan kekaguman dan kasih sayang, menciptakan apa yang oleh Tuan (1974) disebut 'topofilia', yaitu keterikatan pada tempat tersebut.
Lebih lanjut, Benjamin (1936) mengaitkan ini dengan 'aura' suatu tempat atau objek, yang dipahami sebagai jumlah dari konteks historis, budaya dan profil tempat tersebut bagi pengunjung yang dapat dialami hanya jika tempat atau objek tersebut dapat dihubungkan dengan pemahaman seseorang tentang dunia, dalam hal ini dunia keagamaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa suatu tempat atau obyek bisa dijadikan destinasi wisata religi jika memenuhi tiga kondisi berikut:
- Memiliki 'aura' keagamaan karena konteks historis atau budaya
- Menghasilkan pengalaman tertentu dalam membangun kepercayaan agama
- Membangkitkan kekaguman dan kasih sayang karena menciptakan keterikatan
Sebagian besar tempat-tempat atau obyek yang 'disucikan' berbagai pemeluk agama memenuhi tiga syarat kondisi tersebut. Betlehem, Tembok Ratapan, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha dan beberapa makam orang-orang yang 'disucikan' serta tempat-tempat keramat lain yang dianggap bisa menghasilkan pengalaman dalam membangun kepercayaan agama.
Setiap agama tidak menafikan adanya wisata religi, jika itu dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan dan menghasilkan pengalaman tertentu dalam membangun kepercayaan agama. Dalam Islam sendiri, hadist dari Bukhari berikut ini bisa dimaknai sebagai "dasar hukum" adanya wisata religi dan tempat yang dianjurkan untuk dikunjungi.
"Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi)" (Bukhari nomor 1197).
Menjadikan Reuni 212 Sebagai Event Pariwisata Religi Tingkat Dunia
Nah, setelah kita mendefinisikan (sementara) hakikat wisata religi, mari kita lihat apakah acara Reuni 212 layak dan memenuhi persyaratan kondisi untuk dijadikan destinasi wisata religi. Dari konteks historis dan budaya, lapangan Monas, tempat diselenggarakannya acara Reuni 212 tidak memiliki aura keagamaan.
Tapi ketika acara itu diselenggarakan, tempat atau obyek di mana Reuni 212 digelar memiliki pengalaman dalam membangun kepercayaan agama, serta mampu membangkitkan kekaguman dan kasih sayang karena menciptakan keterikatan.