"Nin, kamu gak daftar CPNS?" tanya saya pada Nina, sahabat saya waktu kuliah dulu.
"Nggak. Aku gak mau jadi beban negara."
"Maksudmu?" tanya saya tidak mengerti.
"Kamu bayangin aja, berapa banyak uang negara yang habis untuk menggaji PNS?"
"Tapi itu kan memang sudah kewajiban negara, Nin. PNS itu kan mengabdi pada negara," kataku masih ngotot.
"Salah. PNS itu Abdi Rakyat, bukan Abdi Negara. Namanya mengabdi ya harus melayani, berapapun imbalan yang diberikan padanya. Tapi sekarang lihat, uang negara lebih banyak dihabiskan untuk menggaji PNS daripada untuk melayani rakyatnya."
Di antara beberapa sahabat saya, Nina saya kenal paling idealis. Keteguhannya memegang prinsip seperti batu karang yang tak bergeser sedikit pun meski berulang kali dihajar ombak ganas.
Di saat banyak teman kami yang mengikuti Pendaftaran Seleksi CPNS, Nina malah tidak mau ikut-ikutan. Padahal seandainya mau, kemungkinan besar Nina bisa lolos seleksi awal. Otaknya moncer, namun karena idealismenya itu Nina kerap "kesulitan" dengan birokrasi kampus. Dia seolah tidak mau diatur begitu saja jika ada hal yang dirasanya tidak sesuai dengan idealismenya.
Pada akhirnya, idealisme Nina perihal keengganannya untuk jadi PNS itu menular pada saya dan dua sahabat Nina lainnya. Hingga sekarang, belum pernah sekalipun kami mengikuti pendaftaran seleksi CPNS meski banyak kesempatan terbuka dan terbentang di depan. Kami lebih memilih meniti karir di perusahaan swasta atau berwirausaha.
Di saat banyak teman kami, dan juga sarjana lainnya berbondong-bondong ikut seleksi CPNS, pendirian kami tidak goyah. Ketika kampus membuka lowongan menjadi dosen dan beberapa dosen kami menganjurkan untuk ikut, kami tidak tergoda.
Apa yang dikatakan Nina belasan tahun yang lalu memang benar adanya. PNS seolah menjadi "beban negara". Lebih dari 70% anggaran negara habis hanya untuk menggaji mereka, terutama dari unsur Pemerintah Daerah (PNS Pemda).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!