"Orang-orang membutuhkan contoh dramatis untuk mengusir mereka dari sikap apatis dan aku tidak dapat melakukannya sebagai Bruce Wayne. Sebagai seorang pria, aku memiliki darah dan daging, aku bisa diabaikan, aku bisa dihancurkan; tetapi sebagai simbol, aku tidak bisa rusak, aku bisa abadi."
~Bruce Wayne dalam Batman Begins~
Penyerangan terhadap Menkopolhukam Wiranto menghentak kita semua. Tak hanya karena keberanian atau kenekatan pelakunya, tetapi juga kenyataan betapa mudahnya kedua pelaku penyerangan mendekati seorang pejabat setingkat Menkopolhukam.
 Kecolongan? Itu sudah pasti. Bagaimana bisa intelejen kita tidak bisa mendeteksi adanya ancaman terhadap Wiranto? Bagaimana bisa kedua pelaku yang katanya sudah diintai BIN selama 3 bulan masih "dibiarkan mendekat" dalam jarak yang memungkinkannya untuk menyerang secara langsung?
Ada begitu banyak pertanyaan di benak masyarakat, terutama netizen yang selalu "Maha Benar" komentarnya. Karena itu, jangan menyalahkan pula apabila ada sebagian netizen yang "meragukan" insiden penyerangan terhadap Menkopolhukam Wiranto tersebut.
Di era "post truth" seperti sekarang ini, kepercayaan masyarakat terhadap media semakin berkurang. Terlebih pada media yang berada di lingkar kekuasaan.
Lihat saja narasi dari media yang mengiringi insiden penyerangan tersebut. Praktis semuanya dimaksudkan untuk menggiring opini, yang mau tidak mau adalah untuk menyudutkan Islam.
Tengoklah bagaimana media menggambarkan profil pelaku. Begitu cepat mereka memperoleh informasi dan menyimpulkan bahwa pelaku adalah orang yang rajin beribadah. Begitu pula dengan identifikasi mereka terhadap simbol-simbol tertentu. Nama alias yang berbau Arab, berjenggot, memakai celana cingkrang dan yang perempuan mengenakan cadar.
Simbol dengan narasi yang menyudutkan Islam
Insiden penyerangan terhadap Menkopolhukam Wiranto adalah sebuah simbol dengan narasi yang menyudutkan Islam. Sebagaimana yang dikatakan Bruce Wayne, simbol tidak bisa rusak. Simbol adalah abadi.
Sesaat setelah insiden penyerangan tersebut, Presiden Jokowi langsung menyerukan "perang" terhadap radikalisme. Karena itu, tak salah apabila saya menyebut aksi penyerangan itu adalah simbol.