Buzzer politik seringkali tidak mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Berita dan informasi hoaks pun bila perlu mereka viralkan. Bila di kemudian hari informasi yang mereka sebar itu palsu, cukuplah dengan menghapus postingan.Â
Tak ada penyesalan, apalagi permintaan maaf pada pengguna media sosial lain yang sudah ikut menyebarkan informasi palsu tersebut. Ujung jari mereka lebih cepat bergerak daripada otak dan hati.
Contohnya bisa kita lihat dari kasus informasi hoaks ambulan PMI dan Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta. Adakah buzzer-buzzer politik yang tadinya melemparkan tuduhan itu menyesal atau meminta maaf pada pihak yang dirugikan?
Yang ada mereka cenderung mencari pembenaran. Cukup dengan menghapus postingan dan mengatakan mereka khilaf tidak mengecek kebenaran informasinya serta terlalu cepat menyebarkan kabar beritanya. Tapi, kekhilafan mereka ternyata selalu diulang-ulang.
Buzzer politik juga memiliki tendensi untuk sering berbohong dan manipulatif. Seperti yang dilakukan karakter fiksi anak-anak Pinokio, kebohongan mereka bersifat instruktif. Kebohongan satu dilakukan untuk menutupi kebohongan lainnya. Dengan begitu mereka berharap publik akhirnya percaya apa yang mereka sampaikan adalah sebuah kebenaran.
Dari ciri-ciri umum yang sering kita lihat pada buzzer politik tersebut, pada akhirnya bermuara pada ciri terakhir: mengabaikan tanggung jawab dan keselamatan umum.Â
Bagi mereka, tujuan utamanya adalah untuk kepentingan kelompok tertentu atau pihak yang menyewa jasa mereka. Apakah kegaduhan yang mereka buat di media sosial berimbas pada kehidupan sosial di dunia nyata, mereka tidak peduli.Â
Bagi mereka, semakin gaduh semakin baik karena itu menunjukkan tujuan mereka sudah tercapai.
Buzzer politik memang berbeda dengan buzzer biasa. Jika buzzer biasa adalah pengguna internet yang disewa jasanya untuk mempromosikan produk atau acara, buzzer politik disewa karena untuk menebar kabar dan analisa sesukanya. Tak jarang akibat ulah buzzer politik masyarakat bisa tersesat oleh informasi palsu, dan yang lebih mengerikan lagi adalah, perpecahan hingga jatuhnya korban yang tidak diinginkan.
Melihat dampak yang ditimbulkan buzzer politik semacam ini, adakah sebutan lain yang lebih tepat selain bahwa mereka itu memiliki kecenderungan psikopat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H