Bagi sebagian besar perusahaan atau merek, angka adalah metrik utama pemasaran. Jumlah pengikut seorang influencer dianggap memiliki sihir tersendiri.Â
Mereka beranggapan bahwa semakin banyak follower, maka produk atau merek yang dipromosikan bisa menjangkau audiens yang lebih luas, minimal sebanyak jumlah follower-nya.
Padahal belum tentu, tergantung dari algoritma media sosial itu sendiri. Instagram misalnya, sejak 2018 algoritma media sosial yang mendominasi influencer marketing ini lebih mengedepankan Post Exposure dan Engangement.
Post Exposure adalah algoritma yang membuat gambar yang diposkan, hanya akan dijangkau dan terlihat oleh 10 persen pengikut akun Instagram yang bersangkutan.Â
Jika partisipasi audiens, atau pengikut akun tersebut tinggi, maka akan ada kesempatan postingan tersebut bisa terlihat oleh 90 persen pengikut lainnya. Jadi, jika seorang influencer dengan jumlah follower 1000, satu postingannya hanya akan terlihat 100 orang saja.
Sedangkan algoritma Engangement terkait dengan keterlibatan akun dalam berkomentar, baik saat membalas komentar atau memberi komentar di postingan akun lain.
Karena itu, salah apabila perusahaan atau brand terlalu berharap pada jumlah follower dan menaruhnya sebagai metrik utama dalam strategi pemasaran media sosial mereka.
Selain algoritma, masalah lain dari influencer marketing adalah keotentikan. Kebanyakan influencer dianggap tidak otentik (termasuk jumlah pengikut mereka).Â
Mereka menghabiskan banyak waktu (dan uang) untuk mengolah citra tertentu dari gaya hidup mereka. Kemudian menjualnya sebagai mimpi yang bisa dicapai siapa pun!
Influencer ingin "memengaruhi" pengikutnya untuk membeli barang-barang material dari merek-merek yang bersedia membayar mereka untuk beriklan.Â
Influencer dianggap lebih mementingkan citra pribadi daripada apa yang dibutuhkan pengikut mereka. Dengan cara ini, jumlah follower menjadi lebih penting daripada pesan atau pengaruh mereka yang sebenarnya pada audiens.