Beberapa waktu yang lalu, seorang teman mengajak saya untuk menjadi bagian dari timnya, mengembangkan sebuah produk aksesoris impor. Rencananya, saya diberi tugas menangani content marketing dan branding produk.
Saya lalu diminta untuk mengirim CV berikut nominal gaji yang saya inginkan. Setelah beberapa hari, saya dihubungi teman saya tadi.
"Mas, gaji yang kamu minta apa gak kebesaran tuh?"
"Nggak lah. Aku sudah menghitungnya dengan penuh pertimbangan. Kalau kamu ingin mengajakku, itulah gaji yang aku minta," kata saya.
"Ya, tapi kan job description-nya juga gak begitu memberatkan, Mas. Kalau sebesar itu yang Mas minta, owner-nya kayaknya keberatan tuh," kata teman saya dengan nada nggak enak hati.
"Santai saja, Ndi. Kalau memang si owner keberatan, nggak apa-apa kok. Tapi memang sebesar itu gaji yang aku minta. Dan aku ngitungnya juga bukan asal-asalan. Aku tahu kapasitas keahlianku, plus beberapa faktor lain. Salah satunya biaya hidup di tempat kerja nanti."
"Ya sudah, nanti aku bicarakan lagi sama owner ya Mas."
Hari demi hari pun berlalu, dan teman saya belum menghubungi lagi. Mungkin si owner memang keberatan dengan gaji yang saya minta sehingga memutuskan tidak mau memakai saya dalam tim pengembangan produknya.
Saya sih tidak terlalu ambil pusing. Bagi saya, diterima syukur, gak diterima juga tidak mengapa. Yang penting, saya sudah memberi tahu nilai keahlian saya yang hendak digunakan perusahaan tersebut.
Begitulah teman. Berhubung dua hari ini lagi viral cerita tentang seorang freshgraduate yang keberatan dengan gaji 8 juta sebulan yang ditawarkan padanya, saya jadi tergelitik dan ingat dengan pengalaman saya sendiri.