"Sandi melakukan kesalahan besar saat dia memutuskan mundur dari jabatan Wagub DKI Jakarta," kata seorang teman.
"Salahnya di mana?"
"Ya, dengan ditolaknya gugatan Tim Hukum Prabowo-Sandi oleh MK, karir politik Sandi sudah selesai. Dia gak mungkin balik menjadi wakil gubernur lagi kan?" ujar teman saya menjelaskan.
Saya tak hendak mengulas putusan sidang MK yang hasilnya sudah kita ketahui bersama. Namun, ada poin yang menarik dari pernyataan teman saya tersebut, yakni mengapa karir politik menjadi segalanya.
Bagi saya, suatu perjuangan dengan niat baik, misalnya memajukan perekonomian nasional atau ikut berkontribusi dalam membangun bangsa, bila kemudian harus berurusan dengan birokrasi dan kemudian mau tidak mau masuk dalam ranah politik, itu bukan berarti ujung-ujungnya masuk dalam sebuah plot yang disebut dengan karir politik.
Semuanya tergantung NIAT. Kalau niatnya memang untuk berkuasa, maka yang dikatakan teman saya tersebut benar adanya.
Seseorang yang sedang menjabat tak perlu mengundurkan diri karena undang-undang membolehkan dia untuk cuti dari jabatan sebagai pejabat publik selama proses kontestasi.
Namun kalau niatnya untuk membangun bangsa, memperbaiki perekonomian rakyat, tak perlu khawatir tentang jabatan yang dilepasnya. Ia tidak perlu lagi memikirkan jabatan yang diemban.
Di sinilah letak kebesaran jiwa dan kenegarawanan Sandiaga Uno. Saat ditunjuk untuk mendampingi Prabowo dalam kontestasi pilpres 2019, Sandi dengan jiwa besar merasa perlu untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Padahal jabatan tersebut baru saja diembannya.
Dalam pandangan saya, Sandi melakukan apa yang dikatakan teman saya sebagai sebuah "bunuh diri politik" itu karena dengan melakukan hal ini dia menjadi bebas melakukan apa saja karena tidak terikat dengan ketentuan sebagai pejabat publik, menjadi orang bebas.
Tentu dia juga sudah memperhitungkan bila kelak gagal jadi capres tak akan ada penyesalan melepaskan jabatannya.