Seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap lebaran saya mudik tipis-tipis saja. Dari Malang ke Surabaya. Meski begitu, jangan dikira mudik tipis-tipis ini berjalan dengan lancar. Seperti para pemudik lain di seluruh wilayah Indonesia, saya menjalani ritual mudik ini dengan penuh perjuangan.
Perjuangan pertama dimulai saat saya berburu tiket kereta api Penataran jurusan Malang-Surabaya. Ini kereta kelas ekonomi yang tiketnya murah meriah, cuma Rp. 12.000 per penumpang.
Mengapa naik kereta kelas ekonomi? Karena disinilah nuansa mudik itu bisa lebih terasa. Selain kereta Penataran, sebenarnya ada 3 kereta api lainnya yang melayani jurusan Malang-Surabaya dan sebaliknya. Hanya saja 3 kereta ini, yakni Bima, Jayabaya dan Mutiara Selatan masuk tipe kereta Bisnis dan Eksekutif yang harga tiketnya 4 kali lipat.
Kalau ingin nyaman, kita bisa menumpang kereta api Bisnis dan Eksekutif ini. Tapi kalau ingin merasakan suasana mudik yang sesungguhnya, kita hanya bisa mendapatkannya di kereta kelas ekonomi. Dan karena harga tiketnya murah, untuk membeli tiketnya juga harus dengan strategi, jika tidak ingin kehabisan tiket atau berdiri sepanjang perjalanan.
Oleh PT. KAI, sebagian besar tiket kereta api lokal kelas ekonomi baru bisa dipesan mulai seminggu sebelum keberangkatan (H-7) hingga 3 jam sebelum berangkat/Go Show. Calon penumpang sudah bisa membelinya melalui aplikasi KAI Access .
Sayangnya, untuk pembelian lewat aplikasi ini pembayarannya harus menggunakan uang elektronik lewat aplikasi Linkaja. Selain itu, pembelian tiket hanya bisa dilakukan untuk satu penumpang per transaksi dalam satu nomor KA dengan relasi yang sama. Artinya, jika ingin memesan lebih dari satu tiket, maka pembelian harus dilakukan secara berulang.
Antri untuk mendapat nomor antrian
Karena agak ribet inilah saya memilih untuk membeli tiket langsung di stasiun Kota Malang. Supaya tidak kehabisan tiket atau berdiri mengingat jadwal keberangkatan saya pas puncak mudik, maka saya memesannya pada H-7.
Pada hari pemesanan tiket, pukul 07.00 saya sudah mengantri di depan pintu ruang pembelian tiket Stasiun Kota Malang. Untuk membeli tiket? Bukan, cuma untuk mengambil nomor antrian pembelian tiket. Bingung kan? Kita antri untuk mendapat nomor antrian. Itulah salah satu fenomena aneh di negeri kita.
Beruntung rumah saya tidak terlalu jauh dari stasiun. Karena loket pembelian baru dibuka pukul 09.00, saya masih punya waktu untuk pulang mengerjakan aktivitas lainnya. Dengan melihat nomor antriannya, saya bisa memperkirakan kapan saya harus balik ke loket stasiun untuk membeli tiketnya, tanpa harus menunggu lama lagi.
Berebut kursi dengan penumpang tiket berdiri
Setelah mendapat tiket, bukan berarti perjuangan mudik sudah selesai. Biasanya, saat naik kereta itulah perjuangan berikutnya dimulai. Bukan karena uyel-uyelannya, tapi karena rasa tidak enak hati harus "mengusir" penumpang lain.