Bangsa harus berkarakter. Tapi, sebagus-bagus karakter bangsa sebaiknya tidak lebih dari 140.Â
(Sudjiwo Tedjo, Republik #Jancukers)
Memang benar apa yang dikatakan si "Dalang Edan" Sudjiwo Tedjo tersebut. Dengan nada satir, Sudjiwo Tedjo menyindir budaya dan perilaku Generasi Digital dalam menyerap pendidikan karakter. Betapa sulit menanamkan karakter bangsa bagi generasi digital, karena mereka tidak mau bersusah payah membaca dan menghafal sesuatu yang melebihi 140 karakter abjad!
Pendidikan Karakter pertama kali mengemuka sebagai tema yang diusung Kementrian Pendidikan Nasional dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun 2010, yakni "Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa". Sejak itu, banyak ahli pendidikan, pengamat dan praktisi pendidikan mencoba untuk menerjemahkan seperti apa bentuk Pendidikan Karakter yang tepat untuk diaplikasikan bagi anak didik sekolah. Puncaknya, Pendidikan Karakter akhirnya resmi dijadikan basis kurikulum pendidikan dasar-menengah tahun 2013.
Meski begitu, dalam perjalanan waktu penerapannya masih banyak institusi pendidikan yang tidak sepenuhnya paham bagaimana mengejawantahkan pendidikan karakter dalam praktik pendidikan mereka. Banyaknya kasus-kasus amoral dari para siswa yang selama ini terjadi pada akhirnya membuat para ahli pendidikan mengerutkan kening dan bertanya, apa yang salah dengan pendidikan karakter selama ini?
Pendidikan, sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 3 bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Â
Namun dalam kenyataannya, banyak warga negara yang perilaku dan budaya mereka justru bertolak belakang dengan apa yang hendak dicapai dari tujuan pendidikan nasional tersebut. Korupsi yang merajalela, penyalahgunaan narkoba oleh generasi muda, tindakan perundungan yang dilakukan para siswa, hingga budaya konsumtif dalam rumah tangga masyarakat.
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mampu membangun keberadaban bangsa. Pendidikan karakter yang selama ini kita dengungkan belum mampu mengubah pola pendidikan, yang menurut Winarno Surachmad dkk (2003) tidak lebih dari latihan-latihan skolastik, seperti mengenal, membandingkan, melatih, dan menghapal, yakni kemampuan kognitif yang sangat sederhana, di tingkat paling rendah.
Melihat kondisi ini, perlu kiranya kita menata ulang pendidikan karakter yang sudah kita terapkan sejauh ini. Kita perlu mengarahkan pendidikan karakter kembali pada prinsip dasar dan tujuan awalnya, sebagaimana yang digagas pertama kali oleh Ki Hajar Dewantara.
Menurut Ki Hajar Dewantara, Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12).Â
Lebih lanjut, Ki Hajar Dewantara juga menegaskan bahwa pendidikan itu suatu tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak para pendidik. Â Sebagai makhluk, sebagai manusia, anak hendaklah tumbuh dan berkembang menurut kodratnya sendiri.
Dalam mengejawantahkan definisi pendidikan ini, Ki Hajar Dewantara memandang peranan besar dari Tripusat Pendidikan. Yaitu;
- Pendidikan di lingkungan keluarga.
- Pendidikan di lingkungan perguruan/sekolah.
- Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan.Â
Tripusat Pendidikan ini besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter seseorang. Masing-masing pusat pendidikan ini memiliki peran pokok yang harus ditunaikan dengan baik dan memerlukan kerja sama satu dengan yang lain agar pendidikan karakter bisa berlangsung seimbang dan maksimal sehingga bisa membentuk karakter anak yang baik pula.
Lingkungan keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Sejak timbul peradaban manusia hingga kini, kehidupan dalam keluarga selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti atau karakter dari tiap-tiap individu di dalamnya.
Lingkungan perguruan merupakan pusat pendidikan yang khusus berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) serta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Sedangkan lingkungan kemasyarakatan merupakan wadah bagi anak didik untuk beraktivitas dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.
Dalam pelaksanaannya, Ki Hadjar Dewantara menggunakan "Sistem Among" sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Melalui Sistem Among, maka setiap pamong di masing-masing pusat pendidikan yang berperan sebagai pemimpin dalam proses pendidikannya diwajibkan bersikap:Â
- Ing ngarsa sung tuladha (pendidik adalah orang yang lebih  berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai "central figure" bagi siswa).
- Ing madya mangun karsa (pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal).Â
- Tutwuri handayani (pendidik mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan tanggung jawab dalam memberi kebebasan, kesempatan dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya. (MLPTS, 1992).
Konsep dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara inilah yang patut kita jadikan sebagai tolok ukur dan acuan dalam menata ulang pengembangan pendidikan karakter. Alih-alih bersifat kemampuan kognitif berupa latihan skolastik yang mengharuskan anak-anak untuk mengenal dan menghafal, yang diperlukan generasi digital saat ini adalah sebuah keteladanan dan contoh moral.
Jika para pendidik sadar bahwa keteladanan adalah upaya nyata dalam membentuk anak bangsa yang berkarakter, kita semua tentu akan terus mengedepankan keteladanan dalam segala perkataan dan perbuatan. Sebab dengan keteladanan itu maka karakter religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, cinta damai, peduli sosial, dan karakter lain tentu akan berkembang dengan baik.
Corak pendidikan ini juga harus bersifat nasional. Artinya secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang sama tanpa harus mengabaikan budaya lokal. Prinsip ke-bhinneka-an tetap harus dijaga, tapi corak pendidikannya harus memiliki kesamaan dalam mengembangkan karakter anak bangsa.
Daftar Pustaka:
Ki Suratman. Pokok-pokok Ketamansiswaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1987.
MLPTS. Peraturan Besar dan Piagam Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta: MLPTS. 1992.
Winarno Surakhmad, dkk. (2003). Mengurai Benang Kusut Pendidikan. Jakarta: Transformasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H