Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Palangkaraya Masih Menjadi Idola Calon Ibu Kota Negara yang Baru

1 Mei 2019   08:47 Diperbarui: 1 Mei 2019   14:00 1952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Sukarno dan Jembatan Kahayan yang menjadi ikon kota Palangkaraya (sumber foto: travel.kompas.com/Markurius S)

Presiden Jokowi kembali melontarkan wacana untuk memindahkan ibu kota negara. Dalam rapat terbatas kabinet, Senin (29/4) Jokowi memutuskan untuk memasukkan rencana pemindahan ibu kota negara ini dalam isu strategis jangka panjang.

Pemerintah sendiri belum mengumumkan daerah mana yang akan dijadikan ibu kota negara yang baru. Meski begitu, Kota Palangkaraya menjadi kandidat terkuat untuk menjadi ibu kota baru Indonesia.

Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara, dari Soekarno ke Jokowi

Ibu kota provinsi Kalimantan Tengah ini sejak beberapa periode pemerintahan sebelumnya selalu menjadi pilihan pertama dari wacana pemindahan ibu kota negara. Dalam sejarahnya, daerah yang dulunya bernama Pahandut ini memang "sengaja" dibangun untuk dijadikan ibu kota baru, menggantikan Jakarta yang dinilai sudah terlalu padat dan terlalu kompleks permasalahannya.

Pada 17 Juli 1957, Presiden Soekarno melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan Monumen/Tugu di Pahandut ini sebagai bentuk simbolis pembangunan kota ini. 

Soekarno kemudian memilih nama Palangkaraya untuk kota baru itu, yang berarti "tempat suci, mulia, dan agung". Namun, wacana pemindahan ibu kota Indonesia ke Palangkaraya ini ditutup sendiri oleh Soekarno lewat Undang-undang nomor 10 tahun 1964 yang menetapkan Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia.

Pada era pemerintahan Soeharto, gagasan pemindahan ibu kota muncul kembali. Soeharto memilih daerah Jonggol, Bogor sebagai bakal ibu kota negara. Namun hingga masa pemerintahannya berakhir, rencana pemindahan ibu kota tidak pernah terealisasi.

Begitu pula pada masa pemerintahan SBY, gagasan memindahkan ibu kota negara kembali dimunculkan. SBY bahkan membentuk tim khusus untuk mengkaji rencana ini. Sayangnya, hingga dua periode pemerintahannya, hasil kajiannya tidak pernah diungkapkan ke publik. Wacana ini pun tertutup lagi dengan sendirinya.

Pada 2017, Presiden Jokowi membuka kembali peluang pemindahan ibu kota negara. Beban berat yang harus ditanggung Jakarta dengan segala permasalahannya yang sangat kompleks menjadi alasan pemerintah Jokowi ingin memindahkan ibu kota Indonesia. Meski begitu, wacana tersebut hanya terlontar biasa saja. 

Barulah pada 2019 ini, menjelang akhir masa jabatannya Jokowi memasukkan gagasan pemindahan ibu kota dalam rapat kabinet terbatas dan menjadikannya isu strategis nasional.

Syarat Calon Ibu Kota Negara

Memindahkan ibu kota tidaklah seperti memindahkan kantor beserta isinya. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, untuk memindahkan ibu kota negara butuh biaya setidaknya 466 triliun rupiah untuk luas lahan 40 ribu hektar dan dapat memakan waktu paling tidak 10 tahun untuk merealisasikannya. 

Bambang juga mengatakan ibu kota negara yang baru ini hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Sedangkan pusat bisnis dan perekonomian tetap di Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia.

Selain butuh biaya yang sangat besar, pemindahan ibu kota juga harus memperhatikan pemilihan lokasi barunya. Menurut Kepala Pusat Penelitian Infrastruktur dan Pemerintahan Institut Teknologi Bandung, Wilmar A. Salim, ibu kota negara yang baru nanti harus memenuhi beberapa syarat, terutama syarat fisik.

"Syarat fisiknya yang penting tersedia lahan yang cukup luas untuk menampung kegiatan pusat pemerintahan. Dan yang lebih baik adalah di mana lahannya dimiliki negara, sehingga tidak terbentur persoalan pembebasan lahan."

Masih terkait dengan syarat fisik, menurut Wilmar A. Salim, calon ibu kota negara juga tidak boleh di lokasi yang rawan bencana.

"Selain itu biasanya ibu kota baru dibangun di daerah pedalaman atau di tengah wilayah negara karena pertimbangan geografis, keamanan, dan politis."

Dengan memperhatikan syarat fisik ini, ibu kota negara yang baru nantinya kemungkinan besar tidak berada di pulau Jawa. Hampir tidak ada lahan yang cukup luas di bagian manapun di pulau Jawa yang bisa menampung kegiatan pusat pemerintahan, apalagi lahan itu harus milik negara seluruhnya.

Palangkaraya Masih Menjadi Idola untuk jadi Ibu Kota Negara

Karena itu, dari beberapa kali wacana pemindahan ibu kota semuanya mengarah pada lokasi di luar pulau Jawa. Kota Palangkaraya sejauh ini masih menjadi daerah favorit untuk dijadikan ibu kota negara yang baru.

Ditinjau dari segala aspek persyaratan calon ibu kota negara, Palangkaraya hampir bisa memenuhi semuanya. Dengan luas wilayah 2.400 km dan berpenduduk sebanyak 376.647 jiwa (sensus 2015), atau tingkat kepadatan penduduk hanya 118,71/km2, masih banyak lahan kosong yang bisa dibangun dan diisi sebagai pusat pemerintahan.

Selain itu, pulau Kalimantan, terutama Kota Palangkaraya juga tidak termasuk lokasi yang rawan bencana. Pulau Kalimantan tidak ikut dikelilingi Ring of Fire, sehingga potensi terjadinya bencana alam lebih kecil dibandingkan pulau-pulau besar lain seperti halnya pulau Sumatera, Jawa atau Sulawesi dan Papua.

Palangkaraya juga termasuk kota yang sudah jadi. Artinya, daerah ini sudah lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang seperti transportasi hingga pusat-pusat bisnis. Dengan begitu, bila nanti terjadi migrasi pegawai pemerintah dan penduduk lain yang mengikuti, mereka tidak akan kesulitan untuk beradaptasi.

Palangkaraya juga termasuk daerah yang lumayan dekat jangkauannya dari Jakarta sebagai pusat bisnis nasional. Hanya saja, bila nanti terpilih jadi ibu kota negara yang baru, Pemerintah harus mengembangkan Bandara Tjilik Riwut, karena hanya transportasi udara saja yang bisa menghubungkan Palangkaraya dengan kota-kota besar di luar Kalimantan.

Di luar pengembangan sarana transportasi udara, pemerintah juga harus memperhatikan jalur transportasi darat, untuk menghubungkan Palangkaraya dengan kota-kota besar di sekelilingnya. 

Saat ini, terdapat jalan darat antar provinsi yang menghubungkan kota Palangkaraya dengan kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, melalui Jembatan Tumbang Nusa dan Jembatan Barito yang dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 3-4 jam secara nyaman. Sedangkan jalan darat antar provinsi ke kota Pontianak, Kalimantan Barat, merupakan jalan rintisan melewati kabupaten Sukamara.

Satu-satunya aspek yang memberatkan Palangkaraya dijadikan ibu kota negara adalah keberadaan hutan di lahan-lahan kosong. Pulau Kalimantan sudah terlanjur identik dengan sebutan paru-paru dunia karena keberadaan hutan-hutan di sana. Dengan menjadi ibu kota negara, tentu hal ini akan diiringi dengan pembangunan fisik yang massif, yang tentu saja harus mengorbankan sekian ratus ribu hektar lahan hutan.

Maros, alternatif pilihan selain Palangkaraya

Selain Palangkaraya, ada satu daerah lain yang luput dari perhatian banyak pihak. Padahal daerah ini juga bisa memenuhi beberapa syarat untuk dijadikan ibu kota negara.

Kota Maros, di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan bisa dijadikan wacana alternatif untuk ibu kota negara yang baru. Dari segi fisik, kota Maros sudah memenuhi syarat. Dengan luas wilayah 1.619,12 km2 dan berpenduduk 339.300 (sensus 2015) atau tingkat kepadatan 0,21 jiwa/km2, seperti halnya Palangkaraya, di Maros masih banyak lahan kosong yang bisa dibangun dan diisi sebagai pusat pemerintahan.

Satu-satunya kelebihan Maros dibanding beberapa daerah lain di Indonesia adalah keberadaan Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin. Meskipun secara administratif dikenal ikut kota Makassar, tapi letak fisik bandara ini ada di Kabupaten Maros.

Hanya saja, Kabupaten Maros masih termasuk wilayah yang rawan bencana. Masih segar dalam ingatan kita pada awal tahun 2019 bencana banjir bandang yang menerjang Kabupaten Maros, Gowa, dan Jeneponto hingga mengakibatkan ribuan warga mengungsi.

Bagaimanapun juga, wacana pemindahan ibu kota negara ini harus direncanakan dengan sangat matang. Harus dipikirkan dan dikaji secara mendalam berbagai dampaknya, baik itu untuk Jakarta sendiri maupun calon ibu kota yang baru nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun