Orang-orang yang mencari nafkah tentunya tak hanya ingin memenuhi kebutuhan pribadi. Mereka pasti berpikir bagaimana caranya bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga tercinta, baik itu pasangan (suami/istri), anak, orang tua, atau kerabat dekat lainnya.
Sebagai orang yang pernah bekerja dengan mobilitas tinggi, hilir mudik di jalan raya setiap hari, saya menyadari betul bagaimana risiko para pencari nafkah. Apapun jenis pekerjaannya, selalu ada risiko yang menyertai.
Terlebih di zaman sekarang, dimana kita dituntut untuk selalu bergerak aktif, dengan gaya hidup modern yang malah rentan mendatangkan berbagai macam penyakit.
Ada seorang teman kerja di Bali dulu pernah mengalami kecelakaan serius. Ketika hendak berkunjung ke tempat klien, sepeda motornya tersenggol motor orang lain. Teman saya lalu terjatuh, tulang rusuknya patah di beberapa tempat, bahkan ada yang hampir menembus paru-parunya. Untunglah dia tertolong dan biaya perawatannya ditanggung pihak kantor dan asuransi yang diikutinya.
Bagaimana seandainya kejadian seperti itu menimpa kita? Dengan risiko yang malah lebih buruk? Kita bisa mengalami cacat permanen total atau bahkan meninggal dunia.
Kita pasti tidak ingin hal ini terjadi. Bahkan hanya berandai-andai pun kita tidak berani. Yang ada di benak kita adalah, bagaimana nasib keluarga kita nanti? Bagaimana nasib orang-orang tercinta, seandainya kita tidak bisa mencari nafkah?
Ikut asuransi adalah salah satu ikhtiar kita untuk menjamin masa depan keluarga, seandainya kita sudah tidak bisa bekerja dan mencari nafkah. Sekarang ini, banyak asuransi yang selain menawarkan investasi, juga memberi manfaat perlindungan diri. Tapi, jika kita pelajari lebih jauh, asuransi semacam ini hanya sekali pakai.
Artinya, jika pemegang polis atau pencari nafkah itu mengalami kecelakaan atau terkena sakit kritis, pihak asuransi akan memberikan santunan kecelakaan/santunan jiwa sekali saja. Setelah itu, polis asuransi sudah tidak berlaku karena klaim santunan sudah dicairkan dan premis asuransi tidak dibayar lagi.
Nominal santunan mungkin terlihat besar, tapi apakah itu bisa menjamin kelangsungan hidup keluarga kita dalam jangka waktu yang lama?
Sayang sekali apabila ikhtiar kita untuk menjamin masa depan keluarga itu harus terhenti saat kita tidak mampu lagi mencari nafkah. Apakah kita tidak ingin manfaat santunan itu tetap berlanjut meski yang mencari nafkah sudah tidak bekerja?
Memangnya bisa? Terus siapa yang membayar premi asuransinya?