Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Antara Pesta Kembang Api dan Asap Rokok, Betapa Hipokritnya Kita Semua

31 Desember 2018   10:57 Diperbarui: 1 Januari 2019   07:34 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (unsplash.com/@spensersembrat)

"Berapa rupiah yang kita bakar sia-sia hanya untuk merayakan pergantian kalender Masehi?"

Tanya Jono dengan berapi-api. Asap rokoknya mengebul deras, seperti asap lokomotif yang tengah melaju kencang.

"Ironis bukan, di tengah hutang yang menumpuk, banyak masyarakat masih hidup dalam garis kemiskinan. Tapi pejabat-pejabat di pusat dan daerah, orang-orang kaya di kota larut dalam gemerlap perayaan tahun baru. Membakar uang mereka menjadi letupan kembang api," kata Jono melanjutkan.

Diketuknya puntung rokok di tangannya, membuang sisa pembakaran tembakau dan cengkeh yang asapnya sudah dia hirup ke asbak raksasa berbentuk warung kopi. Sebagian butiran debunya hinggap di celanaku. Kukibaskan pelan, lalu kembali menyeruput kopi hitam yang sudah dingin.

Di sebelahnya, Joni, teman kami berdua mengibaskan tangannya mencoba menepis asap rokok yang dihembuskan Jono. Memang aneh mereka berdua ini. Jono, yang perokok berat bisa berteman dengan Joni, aktivis anti rokok. Kalau sudah bertemu, mereka seperti kucing dan anjing. Perdebatannya tak jauh dari dunia rokok.

Yang membuatku salut pada pertemanan mereka, Jono dan Joni bisa saling menghargai. Jika cuma ada mereka berdua, Jono berhenti merokok. Alasannya untuk menghormati Joni yang tidak merokok.

Yang aneh, kalau ada orang lain di sekitar mereka merokok, Jono ikut merokok, dan giliran Joni yang menjauh, atau kalau terpaksa harus nimbrung dia lalu memakai masker. Kata Joni, untuk menghormati hak orang-orang yang merokok. Entahlah, kadang aku bingung sendiri dengan prinsip toleransi kedua temanku itu.

 "Coba lihat berita ini, 'Pemerintah daerah menyiapkan pesta kembang api senilai 3 milyar.' Gila kan? Uang sebanyak itu habis dibakar dalam satu malam saja. Jauh lebih bermanfaat bila  disalurkan pada rakyatnya yang hidup di kolong-kolong jembatan. Uang sebanyak itu juga bisa digunakan untuk merehabilitasi sekolah-sekolah negeri yang sudah bobrok bangunannya.

Kita kan masih dalam suasana prihatin. Banyak daerah tertimpa bencana alam. Apa tidak bisa orang-orang itu berempati sejenak, tak perlu merayakan sesuatu yang absurd semacam pergantian tahun ini. Apa urgensinya? Tak ada. Hanya pesta foya-foya saja, memperturutkan nafsu hedonisme. Toh setiap hari penanggalan juga berganti. Apa yang istimewa dengan bergantinya tanggal 31 Desember ke 1 Januari?" kata Jono melanjutkan pidato moralnya dengan mata sedikit melotot marah. Dibantingnya surat kabar yang dibacanya tadi ke meja.

Mak Ijah, pemilik warung memandang jengkel ke arah Jono. Dia, seperti juga diriku, sudah mafhum dengan kelakuan Jono, si sarjana gagal itu. Setiap kali datang ke warung kopinya, Jono selalu bersikap seperti itu. Marah-marah dan sinis usai membaca berita dari surat kabar yang selalu disediakan Mak Ijah bagi pengunjung warungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun