Masalah stunting (gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak dari gizi buruk) tak hanya menjadi isu kesehatan saja, tapi juga sudah menjadi isu perekonomian nasional. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, persoalan stunting dapat memberikan dampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Potensi kerugian akibat stunting bisa mencapai 2-3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun.
"Kalau PDB dihitung Rp10.000 triliun saja, potensi kerugian hingga Rp200-300 triliun. Padahal yang saya tahu sekarang PDB kita Rp13.000 triliun. Sebaliknya, kalau kita bisa menurunkan stunting, itu angkanya enggak tanggung-tanggung, akan membawa keuntungan ekonomi 48 kali lipat dari investasi yang dikeluarkan," tandas Bambang di Jakarta, Jumat (30/3/2018).
Besarnya kerugian ekonomi tersebut diperoleh lantaran Indonesia termasuk dalam negara dengan status stunting yang mengkhawatirkan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, 37% anak berumur di bawah lima tahun di Indonesia, atau hampir sembilan juta anak, mengalami stunting. Padahal, batas toleransi dari WHO adalah maksimal 20% atau seperlima dari jumlah balita yang ada.
Mengapa masalah stunting bisa menciptakan kerugian secara ekonomi? Ini karena stunting memiliki konsekuensi fungsional yang buruk pada anak. Beberapa dari konsekuensi tersebut termasuk kognisi dan kinerja pendidikan yang buruk. Sehingga ketika sudah mencapai masa dewasa, hal ini akan berdampak pada produktivitas yang hilang dan upah orang dewasa yang rendah. Sebagai perbandingan, pertumbuhan linear pada anak usia dini (non stunting) merupakan penanda kuat pertumbuhan yang sehat sehingga di kemudian hari akan berdampak pada kapasitas pembelajaran yang optimal dan produktivitas kerja yang tinggi.
Dengan kondisi yang demikian, wajar jika persoalan stunting kini menjadi permasalahan yang menjadi prioritas pemerintah, dan memang sudah seharusnya.
"Stunting pada anak-anak balita merupakan refleksi masa depan Indonesia," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. "Isu ini sekarang menjadi prioritas pemerintah."
Karena itu, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga dari angka 37% pada tahun 2013 menjadi 28% pada 2019. Sementara situasi stunting di Indonesia hingga tahun 2017, tingkat prevalensi stunting masih mencapai 36%. Pertanyaannya, apakah target penurunan stunting menjadi 28% pada tahun 2019, dalam jangka waktu satu tahun sejak dimulainya kampanye nasional ini bisa tercapai?
Kontinuitas dan komitmen pada semua level adalah dua kunci dari pemerintah Peru dalam memerangi malnutrisi pada rakyatnya. Maka, sungguh tepat kiranya apa yang disampaikan Menkes Nila F Moelok, bahwa,Â
"Stunting harus ditangani bersama," kata Nila Moloek, Menteri Kesehatan. "Harus ada kerjasama yang lebih baik antara lembaga pemerintah di tingkat nasional dan regional. Juga dengan sektor swasta, masyarakat sipil, dan akademisi. "
Bagaimana upaya pemerintah dalam mempercepat penurunan stunting di Indonesia? Jauh hari sebelum Kampanye Nasional Pencegahan Stunting dimulai, pemerintah sudah membuat roadmap Gerakan Nasional Pencegahan Stunting dan Kerjasama Kemitraan Multi Sektor. Dalam Rapat Pleno Upaya Percepatan Penganan Stunting 12 Juli 2017 dan 9 Agustus 2017, yang dipimpin oleh Wakil Presiden, pemerintah menegaskan 5 pilar penanganan Stunting, yakni:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!