Tidak terasa bulan Ramadan sebentar lagi akan berlalu. Di saat seperti ini, saya tiba-tiba teringat masa kecil. Menjelang akhir bulan puasa, Ibu selalu bilang, "Kalau puasanya nutuk/penuh, nanti pas Hari Raya dapat hadiah". Ini adalah salah satu cara orang tua memotivasi anak supaya puasa mereka tak putus, terus berpuasa selama satu bulan penuh. Hadiahnya? Yang paling sering tentu saja dibelikan baju baru.
Nah, saat sudah dewasa, bahkan sudah jadi orang tua seperti sekarang ini, jika ditanya hadiah apa yang paling berkesan, saya hanya bisa menjawab, "Air mata bahagia sang Ibu, adalah hadiah lebaran paling berkesan dan tidak ternilai".
Lebaran, adalah saat dimana keluarga bisa berkumpul bersama. Saat dimana Ibu bisa melihat anak dan cucunya yang selama hari-hari biasa sibuk di rumah masing-masing. Saat dimana Ibu bisa melihat gelak tawa dan canda riang mereka.
Hadiah lebaran bagi saya itu datang usai sholat Ied. Ketika satu per satu keluarga dari anak-anak Ibu bersimpuh, mencium tangan, memeluk dengan segenap kasih sayang. Meminta maaf atas segala khilaf dan salah yang telah dilakukan.
Air mata Ibu pun menetes. Menyampaikan permohonan maaf pula pada anak-anaknya. Sambil terbata menyampaikan nasehat. "Hati-hati. Jangan pernah lupakan sholat". Nasehat yang selalu Ibu sampaikan selalu terulang.
Inilah puncak keikhlasan seorang Ibu. Tak hentinya seorang Ibu berharap yang terbaik bagi anak-anaknya. Meski tak jarang sang anak melakukan hal yang terasa menyakitkan. Jangankan membentak, berkata keras pada Ibu pun sudah termasuk perbuatan yang menyakiti dan durhaka.
Karena itu, setiap Lebaran tiba, sebisa mungkin saya selalu hadir disamping Ibu. Tidak sekedar mengikuti tradisi, atau sebagai bukti tanda bakti seorang anak. Lebih dari itu, saya ingin mengambil hadiah lebaran saya. Yakni air mata bahagia yang menetes dari kelopak mata Ibunda.
Bagaimanapun juga, apa yang sudah saya perbuat untuk Ibu, tidak ada seujung kukunya dari pengorbanan Ibu kepada anak-anaknya. Sebagaimana diceritakan dalam sebuah riwayat, dari Abi Burdah, ia melihat melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar ka'bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang itu bersenandung,
Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.
Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.
Orang itu lalu berkata, "Wahai Ibnu Umar apakah aku telah membalas budi kepadanya?" Ibnu Umar menjawab, "Belum, walaupun setarik nafas yang ia keluarkan ketika melahirkan." Beliau lalu thawaf dan shalat dua raka'at pada maqam Ibrahim lalu berkata, "Wahai Ibnu Abi Musa (Abu Burdah), sesungguhnya setiap dua raka'at (pada makam Ibrahim) akan menghapuskan berbagai dosa yang diperbuat sesudahnya. (HR. Bukhari)