"Sahur....Sahur...."
Suara anak-anak muda yang diiringi irama musik gedombrengan itu membangunkan kami tepat pukul 02.30. Di kampung ini, anak-anak muda terbiasa membangunkan dan mengingatkan warga jika waktu sahur sudah tiba. Sayangnya, niat mulia itu tidak diimbangi dengan kepekaan nada musikal yang mereka mainkan. Anak-anak muda yang berpatroli keliling kampung seolah menabuh berbagai alat musik, terutama drum dan kentongan secara serampangan. Tidak ada nada musik yang enak didengarkan. Padahal semestinya musik patrol itu bersifat ritmik, saling sahut menyahut membentuk nada yang enak didengar supaya orang-orang yang terbangun tidak menggerutu, terlebih di bulan puasa ini.
Usai terbangun, saya dan istri kemudian menyiapkan menu makanan untuk sahur. Anak-anak sengaja kami biarkan melanjutkan tidur nyenyak mereka. Toh batas waktu imsak dan adzan subuh terhitung masih lama. Usai menu makan sahur siap, saya dan istri sholat Tahajud, dan dilanjutkan dengan menderas Al Qur'an.
Sekitar 45 menit sebelum waktu subuh, kami lalu membangunkan anak-anak untuk makan sahur bersama. Suara lantunan ayat suci dan sholawat tarhim di kejauhan menemani saat makan sahur kami. Tak ada kemeriahan suara dari kotak ajaib, yang selama bulan puasa biasanya berisi berbagai macam acara humor, kuis atau bincang-bincang tanpa makna. Meski sesekali diselingi tausiah agama, itu pun porsinya cuma 10 persen saja. Layar televisi di rumah kami memang nyaris tidak pernah menyala saat sahur tiba.
Usai makan sahur dan membersihkan meja makan, Â kami lalu berkumpul bersama sembari menunggu adzan subuh yang sebentar lagi akan berkumandang. Seringkali saya minta anak-anak untuk melanjutkan tadarus Al Qur'an mereka. Tapi namanya anak-anak, kadang menurut terkadang juga banyak alasan. Jika sudah mengelak karena rasa malas yang menghinggapi mereka, saya lah yang kemudian melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Saya sendiri mempunyai prinsip, jika tidak bisa menyuruh anak-anak, maka berikanlah contoh. Jika anak-anak enggan diminta tadarus karena malas atau capek dan mengantuk, maka berikan contoh di depan mereka. Supaya lantunan ayat suci Al Qur'an masih terdengar di dalam rumah kami.
Kumandang adzan subuh kemudian terdengar nyaring di seantero penjuru mata angin. Usai mengambil wudhu di rumah, kami pun melangkahkan kaki menuju masjid kampung yang cuma berjarak 100 meter saja. Sebagaimana di masjid-masjid lainnya, jamaah sholat subuh di bulan Ramadan selalu membludak. Banyak warga yang mengajak serta anak-anak kecil mereka untuk ikut sholat berjamaah di masjid.
Usai sholat subuh, si sulung sudah dijemput teman-temannya untuk diajak jalan-jalan pagi keliling komplek, mumpung sekarang masih libur sekolah. Namanya juga anak yang menginjak remaja, mereka tidak mau ditemani orang tuanya. Supaya lebih adil, saya pun mengajak si kecil untuk jalan-jalan juga memutari komplek perumahan. Sekedar melemaskan otot-otot kaki dan menghirup udara pagi yang menyegarkan.
Dengan ritual sahur seperti itu, praktis layar kaca si kotak ajaib di rumah kami nyaris tidak pernah menyala. Hanya terkadang saja, terutama saat anak-anak merasa bosan dan butuh hiburan untuk ditonton atau jika kami memerlukan informasi berita terkini dan acara pengetahuan. Tapi, secara umum memang televisi sekarang kurang begitu diminati anak-anak. Mereka lebih senang menghabiskan waktu memegang kotak ajaib lain yang ukurannya lebih kecil. Perangkat yang kadang membuat mereka lupa waktu karena keasyikan mabar alias main bareng game online bersama teman-temannya.
Di bulan yang suci ini, penggunaan gawai atau menonton televisi sebisa mungkin kami kurangi. Kami merasa, hanya di bulan inilah kesempatan kami untuk bisa meraih pahala sebanyak-banyaknya dan berupaya untuk lebih khusyuk beribadah tanpa harus terdistorsi dengan sesuatu yang kurang berfaedah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H