Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melencengnya Konsep "Ride Sharing" dan Tidak Adanya Perlindungan Konsumen Angkutan "Online"

21 Maret 2018   10:50 Diperbarui: 27 Maret 2018   21:34 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.harnas.co

Seorang pengemudi taksi online berinisial FH bersama temannya FD menjadi tersangka kasus pembunuhan penumpangnya sendiri di Bogor pada Minggu 18 Maret 2018. Pelaku mengakui perbuatannya karena ingin merampas barang milik korban. Niat membunuh penumpangnya muncul lantaran pelaku terdesak bayar cicilan mobil yang digunakan untuk taksi online."Pelaku mengaku kalap dan membutuhkan uang untuk setoran mobil yang dimilikinya," demikian pernyataan Kapolres Bogor AKBP Andy M Diky Prastika.

Ini bukanlah kasus kejahatan pertama pengemudi angkutan online terhadap penumpangnya. Bulan Januari yang lalu, seorang pengemudi taksi online di Bandung juga ditangkap polisi karena menculik dan merampok penumpangnya. Motif dari pelakunya juga hampir sama, karena terdesak kebutuhan ekonomi yang salah satunya adalah untuk membayar cicilan kendaraan yang dipakai sebagai angkutan online.

Kejahatan demi kejahatan yang terjadi pada angkutan online setidaknya membuat kita mempertanyakan dua hal; bagaimana sebenarnya konsep "ride sharing" dari angkutan online dan adakah jaminan dan asuransi perlindungan keselamatan bagi penumpangnya?

Sistem dari angkutan online sekarang ini sepertinya sudah melenceng jauh dari konsep awal mereka. Ketika pertama kali diperkenalkan, tujuan awal dari angkutan online adalah "ride sharing", berbagi kendaraan. Mereka yang jadi pengemudi adalah orang yang benar-benar memiliki kendaraan sendiri dan ingin mencari penghasilan tambahan dari hasil berbagi kendaraan mereka.

Ketika model transportasi online ini menjadi booming, perusahaan yang menaungi pengemudi membuka lebar keran pendaftaran untuk jadi pengemudi angkutan online. Praktik ini pada akhirnya membuat orang-orang yang awalnya tidak mempunyai kendaraan sendiri memaksa untuk mengambil kendaraan dengan sistem kredit. Dan menjadikan profesi pengemudi angkutan online sebagai sumber penghasilan utama. Tak sedikit pula ada yang rela melepas pekerjaan utama mereka demi menjadi pengemudi online.

Mereka ini akhirnya terjebak pada dilema situasi. Sudah terlanjur mengambil kredit kendaraan, sementara persaingan antar pengemudi angkutan online semakin ketat. Mereka pun terpaksa menjadi budak aplikasi. Bekerja 8-12 jam sehari hanya untuk menutup kredit kendaraan yang mereka beli. Akhirnya konsep berbagi kendaraan menjadi hilang.

Begitu pula dengan faktor jaminan keselamatan dari penumpang. Hingga saat ini, pemerintah belum membuat kebijakan dan aturan baku yang mengatur hak konsumen terhadap angkutan online. Bagaimana bila terjadi kejahatan seperti kejadian diatas, atau kecelakaan saat menumpang? Siapa yang akan menanggung biaya pengobatan, atau adakah asuransi jiwa bagi penumpangnya? Pertanyaan demi pertanyaan semacam ini bermunculan dalam benak saya dan membuat saya hingga saat ini masih enggan menggunakan angkutan online.

Berbeda jika kita menumpang angkutan umum konvensional seperti bus atau kereta api. Tiket yang kita beli sudah termasuk asuransi perlindungan keselamatan atau kecelakaan yang ditanggung melalui pembayaran asuransi Jasa Raharja. Ini adalah hak yang kita dapatkan sebagai konsumen. Bandingkan jika kita memakai jasa angkutan online, adakah hak kita dijamin, baik oleh perusahaan angkutan tersebut atau dari pihak pemerintah?

Jika kita cermati pemberitaan saat ada kejahatan atau kecelakaan dari angkutan online, perusahaan yang menaungi pengemudi terkesan berlindung dibalik kata "Mitra Kerja". Pengemudi angkutan online bukan karyawan, hanya mitra kerja. Yang bisa perusahaan lakukan hanya mensuspend (karena istilah memecat tidak tepat digunakan) atau tidak lagi menggunakan jasa si pengemudi. Sementara kewajiban terhadap hak penumpangnya nyaris terabaikan sama sekali.

Kebijakan pemerintah selama ini juga hanya berpihak pada pengemudi dan perusahaan angkutan online. Moratorium pengemudi, pemberlakuan aturan uji KIR kendaraan dan SIM khusus, itu adalah aturan dan kebijakan dari satu sisi saja. Sementara perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan penumpang/konsumen praktis tidak mendapat perhatian sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun