Buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia edisi revisi mengajarkan beberapa hal penting. Pertama, hoax ternyata sudah ada sejak jaman dulu, dan memang sengaja diciptakan. Tujuannya adalah untuk merahasiakan kepribadian seseorang karena takut akan tercipta sebuah skandal yang tidak diinginkan.
Kedua, dan ini yang paling penting, sejarah ternyata bisa direvisi. Karena sejarah itu dinamis, tidak berhenti pada satu waktu saja. Bagi seorang penulis yang menggeluti bidang sejarah, merevisi buku hasil karyanya tentu saja butuh keberanian lebih. Karena itu berarti ada pengakuan kesalahan yang sudah dilakukannya, sebagaimana yang dialami oleh Michael H Hart.
Kontroversi Kesultanan Majapahit
Beberapa waktu lalu, dunia literasi Indonesia dikejutkan dengan kontroversi seputar tokoh Gajah Mada. Sebuah buku yang berjudul Kesultanan Majapahit: Fakta dan Sejarah Yang Tersembunyi  dari penerbit Lembaga Hikmah dan Kajian Publik PDM Yogyakarta mengajukan wacana Gajah Mada adalah seorang muslim. Wacana dari buku ini pun menjadi viral, hingga kemudian entah siapa yang memulai, Gajah Mada disebut dengan Gaj Ahmada.
Banyak yang membantah informasi tersebut. Tidak sedikit yang menilainya sebagai hasil otak-atik gathuk (asal nyambung), dan tidak sedikit pula yang menertawakan. Namun, penulis buku Herman Sinung Janutama dan Ketua Tim Kajian Kesultanan Majapahit, Ryanto Tri Nugroho menanggapi enteng sindiran dan cibiran di media sosial terhadap teori yang mereka ajukan bahwa Majapahit adalah kesultanan islam. Menurut Rinto, kajian itu didasari anggapan bahwa ada pembalikan sejarah masa lalu Nusantara oleh peneliti kolonial.
Mungkinkah Merevisi Sejarah Majapahit?
Apa yang dilakukan penulis buku Kesultanan Majapahit dan yang dialami mereka sekilas mirip dengan cerita kontroversi tokoh William Shakespeare.Â
Jika Michael H Hart bisa sampai pada kesimpulan bahwa buku-buku ortodoks yang menyebut Shakspere sebagai penulis naskah-naskah drama legendaris Hamlet dan Othello adalah hoax, mengapa kita tidak bisa melakukan alur berpikir seperti penulis buku Kesultanan Majapahit itu? Yang oleh Hart disebut "kaum skeptis"karena selalu meragukan kebenaran sejarah. Hingga kemudian Hart dengan enggan mengakui kesalahannya dan menyebut argumen kaum skeptis lebih meyakinkan daripada kaum ortodoks.
Mungkin ada metode penelitian yang salah dari penulis buku Kesultanan Majapahit. Atau bisa juga deduksi yang mereka ambil tidak didukung bukti-bukti sejarah yang kuat. Tapi, tidak dengan entengnya kita kemudian mencibir dan mencemooh kesimpulan yang sudah mereka buat.Â
Siapa tahu, kelak ada sejarawan lain yang bisa membuktikan dengan jelas dan tanpa keraguan, bahwa Kesultanan Majapahit itu benar adanya? Sebagaimana setelah 14 tahun meneliti kembali berbagai argumen dan fakta, Michael H Hart menerbitkan buku revisi dan mencantumkan Edward de Vere sebagai William Shakespeare.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H