Google + (baca: Google Plus atau G-Plus), siapa dari kita yang masih menggunakannya? Mungkin sudah banyak yang meninggalkan platform media sosial dari Google ini. Beberapa lagi mungkin malah tidak tahu apa itu Google Plus. Wajar sih, karena tidak seperti Facebook, Instagram atau Youtube, popularitas Google Plus kalah jauh. Boleh dibilang Plus adalah salah satu produk gagal dari Google. Hidup segan mati pun tidak. Seperti itulah kondisi Google Plus saat ini.
Meski begitu, hingga saat ini eksistensi Plus masih ada. Juga masih banyak digunakan pengguna internet, terutama dari luar negeri. Saya sendiri juga sering menggunakan Google Plus, terutama untuk baca-baca artikel, atau membagikan foto dan tulisan di blog pribadi. Saya juga sering menjumpai beberapa media internasional ternama seperti Washington Post, Al Jazeera, NY Times hingga Forbes menggunakan akun G-Plus mereka untuk membagikan beritanya. Juga banyak blogger dan fotografer luar masih intens menggunakan G-Plus.
Kilas Balik Google Plus.
Untuk mengenal lebih jauh mengapa Google Plus sampai menjadi produk gagal, mari kita lihat kilas balik perjalanannya. Pada bulan April 2011, CEO Google saat itu, Larry Page memperkenalkan Google + pada seluruh karyawan Google. Sebuah memo perusahaan dikirim ke setiap email karyawan, di mana Page meminta seluruh karyawan untuk memperkenalkan, mengadvokasi dan memasarkan produk media sosial terbaru ini pada teman dan keluarga mereka. Larry Page menjanjikan insentif sebesar 25% gaji jika karyawan Google berhasil mengajak teman atau keluarga mereka untuk menggunakan Google +. Tentu saja besaran insentif ini tergantung seberapa banyak orang yang berhasil digaet. Mirip dengan strategi pemasaran Multi Level Marketing.
Sejak saat itu, setiap kali kita membuat email baru di Google, atau membuka akun Google baru, otomatis kita juga dibuatkan akun Google Plus. Memang, salah satu misi besar Google adalah mengintegrasikan seluruh produk mereka pada satu identitas database. Tujuannya adalah untuk menghubungkan dan memahami siapa kita di semua produk Google yang berbeda. Dari komentar positif atau mengerikan di You Tube, ke berbagai tulisan di Blogspot hingga ke surat-menyurat elektronik di Gmail, kita adalah orang yang sama di mana saja. Melalui hal ini, Google bisa lebih tahu lebih banyak tentang kita, yang bertujuan untuk menempatkan iklan --iklan apa saja yang cocok bagi kita. Inilah cara Google mempersonalisasi algoritma penempatan iklan mereka.
Menyenangkan, tapi kemudian membosankan
Awalnya, senang juga berinteraksi sosial di dunia maya lewat Google Plus. Layaknya mainan baru yang harus banyak dicoba, saya masih ingat betapa antusiasnya menggunakan G-Plus untuk pertama kali. Berbagi foto, menambahkan teman di kontak Gmail, atau mengomentari postingan teman-teman yang lain. Di awal kemunculannya, G-Plus memang langsung menghentak. Komunitas-komunitas pun bermunculan, dan bisa mencapai jutaan anggota.
Tapi, kesenangan itu tidak bertahan lama. Secara perlahan, jumlah pengguna Google Plus berkurang drastis. Saya pun mendapati teman-teman di G-Plus sudah banyak yang tidak aktif lagi. Mereka lebih tertarik berinteraksi lewat Facebook, Twitter, atau Instagram yang saat itu masih mencapai puncak ketenaran.Â
Membosankan, mungkin adalah kata yang tepat mengapa banyak yang meninggalkan G-Plus. Berjalan tiga tahun sejak kelahirannya, memang tidak ada sesuatu yang baru dari G-plus. Tampilan datar, dengan background layar putih layaknya mesin pencari Google biasa. Bandingkan dengan Facebook yang pada periode yang sama penuh dengan game-game yang menjadi candu macam Mafia Wars atau Farmville.
Mati Suri dan Penuh Spam Pornografi
Bahkan tiga tahun berselang sejak pengumuman "kematiannya", tidak ada sesuatu yang baru yang dilakukan Bradley Horowitz untuk menghidupkan kembali G-Plus, atau benar-benar membunuh dan menguburkannya seperti produk gagal Google lainnya seperti Buzz, Google Health atau Google Powermeter. Kekosongan ini dimanfaatkan pengguna internet nakal untuk menyelipkan berbagai macam spam dan bot pada Google Plus, yang paling banyak adalah spam pornografi. Saya sendiri sering menjumpai spam-spam ini di beberapa komunitas Google Plus.
Banyaknya spam pornografi ini pun dikeluhkan blogger-blogger yang masih menggunakan G-Plus sebagai sarana untuk membagikan tulisan mereka. Alex Hernandez, salah seorang blogger Techno menuliskan keluhannya perihal Google Plus yang penuh spam, dan berharap ada perhatian dari Google untuk membersihkannya. Dalam tulisannya, Alex mengatakan bahwa hingga saat ini dia masih menyukai G-Plus dengan berbagai kelebihan yang tidak dia dapatkan di media sosial lain. Tapi, sehubungan dengan banyaknya spam, dia pun memutuskan untuk berhenti sampai nanti Google membenahi produk media sosial mereka. Alex pun berharap para pembaca setia blognya di G-Plus bisa memahami kondisi ini.
Keunggulan Google Plus dibanding Media Sosial Lain