Sebuah angkot (angkutan kota) melintas di depan saya. Ada sesuatu yang menarik perhatian ketika angkot jurusan terminal Arjosari-Landungsari itu melintas perlahan di jalan raya. Sebuah stiker panjang tertempel di kaca belakang, tulisannya Angkot Baca Malang: Literasi Kerakyatan untuk Malang Berkemajuan. Dari kaca belakang itu tampak pula beberapa buku bacaan.
Angkot Baca Malang, yakni angkutan kota yang menyediakan buku bacaan di dalamnya sudah beroperasi sejak bulan April 2017 yang lalu. Penggagasnya adalah sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Mahasiswa Penggerak (MAGER) Malang. Angkot dipilih karena ini adalah transportasi umum kelas menengah kebawah, juga sekaligus ruang publik yang terus bergerak.Â
Pengadaan buku untuk angkot sepenuhnya swadaya dari anggota komunitas, serta sumbangan dari beberapa donatur. Karena keterbatasan buku, jumlah angkot yang menyediakan buku bacaan pun juga hanya beberapa saja. Hingga saat ini baru ada 12 angkot baca yang melayani sejumlah trayek di Malang. Yakni, dua angkot trayek Arjosari -- Dinoyo -- Landungsari (ADL), dua angkot trayek Terminal Landungsari -- Dinoyo -- Gadang -- Terminal Hamid Rusdi ( LDG), empat angkot Arjosari -- Landungsari (AL) serta empat angkot Terminal Hamid Rusdi -- Gadang -- Terminal Landungsari (GL).
Meskipun bukan ide baru, kreativitas para mahasiswa Malang yang menyediakan buku bacaan gratis di beberapa angkot ini patut dihargai. Di tengah minimnya budaya literasi di masyarakat, terutama kelas menengah kebawah, kegiatan menempatkan bahan bacaan dalam transportasi publik sudah sepatutnya mendapat dukungan yang nyata.
Sebuah angkot hanya akan penuh dengan penumpang saat berangkat dari dari terminal. Dan untuk itu, para supir angkot harus rela antri menunggu giliran angkot mereka terisi penumpang di terminal. Dalam satu hari, sebuah angkot kadang hanya sempat mengambil penumpang di terminal satu kali saja. Dan jika memilih untuk tidak ikut antri di terminal, supir angkot harus bersusah payah mencari penumpang sepanjang jalur angkotnya, tentu dengan resiko angkot mereka hanya terisi satu-dua penumpang saja.
Hal inilah yang terjadi pada angkot baca yang terlihat oleh saya. Tak ada penumpang di dalamnya. Meskipun sopir angkot sudah melaju pelan, sembari menawari beberapa orang yang sedang berjalan kaki. Keberadaan angkot baca hanya ramai di awal peluncurannya. Dan ketika beberapa operator transportasi online masuk, buku-buku bacaan dalam angkot terasa sia-sia karena minimnya penumpang.
Jika ingin memaksimalkan program literasi melalui Angkot Baca, seyogyanya angkot yang diberi buku bacaan adalah yang trayeknya banyak melewati sekolah, terutama di daerah pinggiran.Â
Jika melihat trayek beberapa angkot yang diikutkan gerakan ini, semuanya melewati tengah kota dan sedikit sekali yang melewati depan sekolah. Trayek ADL dan AL misalnya, dari terminal Arjosari ke Landungsari, sebagian besar rutenya melalui jalan protokol, dan praktis tidak melewati satu sekolahpun. Padahal, anak sekolah adalah penumpang dan sasaran literasi yang potensial. Berbeda dengan trayek angkot seperti MM (Madyopuro-Mergosono), MT (Madyopuro-Tlogowaru), atau TST (Tlogowaru-Sarangan-Tasikmadu), rata-rata mengandalkan penumpang anak sekolah, dan angkot pada trayek inilah yang sebenarnya lebih potensial untuk dijadikan angkot baca.Â
Bagaimanapun juga, inisiasi angkot baca layak untuk diteruskan. Di tengah persaingan transportasi konvensional dan online, adanya buku bacaan pada angkot merupakan nilai lebih yang tidak dimiliki oleh transportasi online. Dan mungkin pula keberadaan buku bacaan ini membuat angkot bisa bertahan di tengah gempuran moda transportasi online.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H