Pada tahun 1988, masyarakat Indonesia digemparkan dengan isu lemak babi yang terdapat pada sejumlah produk pangan terkenal. Isu ini merebak berdasarkan hasil penelitian dari guru besar Universitas Brawijaya Prof. Dr. Dwi Susanto yang meneliti kandungan lemak babi pada produk-produk pangan, sebagian besar diantaranya adalah produk susu. Meski isu tersebut kontroversial, masyarakat Indonesia, terutama umat Islam akhirnya disadarkan akan pentingnya mengkonsumsi produk yang halal sesuai syariat Islam.
Sebelumnya, praktis masyarakat tidak peduli perihal halal dan haramnya kandungan bahan pada produk yang mereka konsumsi. Isu lemak babi tersebut pun akhirnya menjadi sebuah pelajaran berharga bagi umat islam, untuk lebih teliti lagi dalam mengkonsumsi produk pangan yang mereka beli. Di satu sisi, isu lemak babi itu juga akhirnya membuat produsen produk pangan melihat bahwa label halal pada produk mereka adalah sebuah tuntutan agar produk tersebut bisa diterima oleh konsumen, terutama umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia.
Seiring perkembangan jaman, terjadi pergeseran persepsi terkait masalah halal pada sebuah produk pangan. Selama ini, baik konsumen maupun produsen melihat bahwa label/sertifikat halal hanya sekedar label pelengkap untuk kepentingan bisnis belaka. Pelaku usaha memandang bahwa untuk bisa merebut pangsa pasar konsumen muslim, produk mereka perlu diberi label halal. Namun, meningkatnya daya kritis masyarakat dan arus informasi pada masyarakat membuat halal kini tidak lagi sekedar label pelengkap. Halal kini menjelma menjadi sebuah gaya hidup tersendiri.
Hal ini dikarenakan meningkatnya pengetahuan dan pengertian masyarakat, bahwa produk yang halal sudah tentu melalui tahapan pengujian standar halal. Dan standar halal tidak akan bisa terpenuhi jika produk tersebut belum melalui proses pengujian yang didalamnya ada kejujuran, integritas dan komitmen dari produsen itu sendiri. Standar halal inilah yang pada akhirnya menimbulkan kepercayaan kepada konsumen yang lebih besar. Sehingga terbentuklah image pada sebuah produk yakni sehat, aman dan bergizi.Â
Halal kini juga tidak lagi menjadi isu eksklusif umat Islam. Contoh terdekat adalah pulau Bali. Di provinsi yang mayoritas penduduknya non muslim, pelaku usaha kuliner atau produk pangan melihat pentingnya standar halal bagi produk mereka. Hal ini karena mereka tahu, bahwa tingkat konsumsi di pulau Dewata itu tidak lagi didominasi oleh penduduk lokal. Provinsi Bali menyandarkan roda perekonomian pada bisnis pariwisata. Ditambah mayoritas pekerja yang ada di pulau ini berasal dari luar Bali. Kedua faktor ini yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir para pelaku usaha lokal, bahwa produk pangan mereka harus mempunya standar yang nantinya bisa diterima oleh konsumen-konsumen dari luar Bali. Dan standar yang dimaksud adalah standar halal.
Selama 10 tahun tinggal di Bali, saya sering ditanya oleh teman yang akan bertugas atau hanya sekedar berlibur di Bali: "Sulit gak cari warung/makanan halal disana?" Pertanyaan ini terbentuk karena image Bali sebagai daerah yang penduduknya 90% non muslim. Sehingga wajar apabila ada pendatang, terutama umat Islam yang bertanya sebagai bentuk kehati-hatian mereka. Akhirnya, pertanyaan semacam ini bisa ditangkap oleh pelaku usaha, khususnya di bidang kuliner bahwa supaya usaha mereka bisa dipercaya konsumen luar, mereka butuh standarisasi halal.
Mulanya, banyak tempat-tempat kuliner ataupun produk pangan untuk oleh-oleh dari Bali belum dilengkapi label halal. Sekarang berbeda, banyak warung-warung makan, mulai dari sekelas warteg hingga restoran di hotel melengkapi usaha kuliner mereka dengan sertifikat halal yang untuk sementara masih difasilitasi oleh LP POM MUI daerah setempat. Begitu pula dengan para pelaku usaha produk pangan untuk oleh-oleh khas dari Bali, seperti Pie Susu.Â
Mungkin saja tujuan utama para pelaku usaha mendapatkan sertifikat halal hanya terfokus untuk kepentingan bisnis dan meraih kepercayaan konsumen semata. Namun, dengan perubahan pola pikir dari konsumen yang memandang halal sebagai bagian dari gaya hidup, mau tidak mau produsen pun akan mengikuti pola pikir tersebut. Konsumen membutuhkan produk yang higienis, aman dan terjamin kualitasnya. Dan itu bisa didapat pada produk yang sudah memenuhi standar halal, yang menjadi patokan bahwa produk itu memang sudah melalui proses pengolahan yang aman dan bersih, serta kandungan bahannya tidak mengandung bahan-bahan berbahaya bagi manusia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H