Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Melihat Polemik Daya Beli Masyarakat dari Kacamata Penjual Online

5 Oktober 2017   23:01 Diperbarui: 6 Oktober 2017   16:46 6026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahan Foto (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Masalah daya beli masyarakat kembali mencuat seiring pernyataan Presiden Jokowi yang menuding isu penurunan daya beli di masyarakat dibuat oleh musuh politiknya. Jokowi justru meyakini bahwa daya beli masyarakat cenderung naik, karena adanya peralihan pola belanja masyarakat yang semula offline menjadi online. Selain itu, Jokowi juga menunjukkan adanya grafis peningkatan volume pengiriman barang di perusahaan-perusahaan ekspedisi. 

"Saya berikan angka. Coba saya ambil dari shifting dari offline ke online. Banyak orang yang ke situ. Kalau ada toko tutup ya karena ini. Salahnya nggak ikuti zaman," kata dia.

Jokowi mengungkapkan angka jasa kurir naik 130 persen pada akhir September ini. "Angka ini didapat dari mana? Ya kita cek. JNE cek, kantor pos cek. Saya kan juga orang lapangan," katanya pada penutupan rapat koordinasi nasional KADIN 2017, selasa (3/10).

Benarkah apa yang dikatakan presiden Jokowi perihal peningkatan daya beli karena adanya peralihan pola belanja?

Sebagai salah satu pelaku usaha online, apa yang dikatakan presiden Jokowi tidak sepenuhnya benar. Masalah daya beli masyarakat tidak bisa dilihat dari satu variabel saja; yakni hanya pada peningkatan volume pengiriman barang di perusahaan ekspedisi. Menyikapi pernyataan presiden tersebut, saya mencoba melihatnya dari sudut pandang pelaku usaha online kelas UMKM.

Sudah lebih dari dua tahun saya menjalani usaha online, dan baru tahun ini terasa penurunan omzet penjualan. Tentu saja, ada banyak faktor yang membuat usaha online yang saya jalankan menurun omsetnya. Misal karena banyaknya penjual yang sama produknya, persaingan harga, serta jenis barang yang bukan merupakan kebutuhan primer. Meski begitu, secara umum, berdasarkan hasil bincang-bincang dengan sesama penjual online, rata-rata mengakui bahwa tahun ini cenderung terjadi penurunan penjualan. Seperti yang sudah banyak diulas tak kurang oleh Bank Indonesia hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani, masyarakat cenderung menahan diri untuk berbelanja dan lebih memilih menyimpan uang mereka untuk kebutuhan pokok.

Perihal meningkatnya volume pengiriman barang di perusahaan ekspedisi, presiden Jokowi memang benar, meski angka yang disajikan terlalu besar. Salah satu perusahaan ekspedisi, JNE melalui Direktur Utama Muhammad Feriadi membenarkan pernyataan presiden Jokowi, dengan koreksi angka. Menurut Feri, JNE hanya merasakan kenaikan volume penjualan yang mengguakan jasa kurir pengiriman barang hanya sekitar 25 hingga 30 persen saja.
'Angkanya saja yang tidak sesuai dengan apa yang ada di perusahaan kami, mungkin hanya sekitar 25% hingga 30% peningkatan volume pengiriman' ujarnya.

Namun, peningkatan volume pengiriman tidak bisa diartikan sama dengan daya beli masyarakat naik karena pergeseran pola belanja. Data yang disajikan JNE atau yang dikatakan presiden Jokowi tidak memuat informasi, apakah peningkatan volume pengiriman tersebut murni semua berasal dari hasil penjualan online, atau bercampur dengan pengiriman surat dan barang logistik lainnya. Karena faktanya perusahaan ekspedisi tidak hanya melayani pengiriman barang hasil penjualan online saja. Surat menyurat pun kini tidak lagi dimonopoli oleh PT. Pos Indonesia. Banyak perusahaan ekspedisi yang kini juga ikut mengambil pasar pengiriman dokumen yang mana sebelumnya dikuasai oleh PT. Pos.

Daya beli masyarakat pada dasarnya menggambarkan kemampuan masyarakat di dalam negeri untuk melakukan aktivitas konsumsi. Sehingga, untuk menilai apakah sedang terjadi peningkatan atau penurunan, tidak bisa disandarkan pada satu variabel saja. Terlebih variabel tersebut justru juga memuat data yang masih rancu. Kurang tepat pula apabila parameter penilaian daya beli masyarakat hanya didasarkan dari data pertumbuhan profit atau pendapatan satu atau dua perusahaan saja. Terlebih karakteristik pasar pada perusahaan tersebut bukan monopoli.

Daripada menuduh isu daya beli hanya ciptaan musuh politiknya, semestinya pemerintah sebagai pemangku kebijakan memikirkan bagaimana membuat kebijakan-kebijakan yang bisa mendukung masyarakat untuk meningkatkan daya beli mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun