Meski sudah membuka pintu rekonsiliasi dan memanggil para pemain klub ISL untuk memperkuat timnas Indonesia, upaya PSSI ini masih saja dipandang sebelah muka. Beberapa klub ISL menolak mengijinkan para pemainnya memperkuat timnas PSSI dibawah pimpinan Djohar Arifin, dengan alasan sudah tidak ada legitimasi dari para anggotanya. Bahkan dengan berani, mereka berkoar hanya mengijinkan para pemainnya untuk memperkuat timnas bentukan KPSI dibawah pelatih Alfred Riedl. Ada sebuah wacana yang dilontarkan salah satu anggota DPR, Dedy Gumelar (Mi'ing), bahwa untuk menegaskan siapa yang berhak mewakili dan membawa nama Indonesia, dua versi timnas ini sebaiknya diadu saja. Siapa yang terkuat, dia yang berhak berlaga di event-event internasional. Mencermati wacana ini, ada baiknya kita menengok sebentar ke masa lalu, tepatnya saat PSSI dipimpin oleh Kardono. Tahun 1984, PSSI memutuskan membentuk tiga timnas. Saat itu, kompetisi PSSI terbagi dua, Galatama dan Perserikatan. Ada dua event besar yang akan dihadapi oleh PSSI setahun kemudian, yakni Pra Piala Dunia 1986 dan Sea Games XIII/1985 (saat itu Sea Games dan juga Olimpiade belum menerapkan aturan U-23 plus). Karena jarak dua event itu yang lumayan berdekatan, PSSI akhirnya memutuskan untuk membentuk dua timnas, yakni satu timnas dari Galatama dan satu timnas diambil dari kompetisi Perserikatan. Satu timnas lagi dibentuk dari unsur ABRI yang dipersiapkan untuk turnamen persahabatan Malindo (Malaysia-Indonesia). Timnas Indonesia Galatama akhirnya "beruntung" terpilih untuk bertanding di ajang Pra Piala Dunia. Mereka dianggap lebih mumpuni dan lebih punya pengalaman internasional karena juara Galatama mewakili Indonesia berlaga di pentas Piala Winners atau Piala Champions Asia. Sementara timnas Indonesia Perserikatan dikirim ke Pesta Sukan I/1985 di Brunei Darussalam (peringkat ke-4) dan SEA Games XIII/1985 di Thailand (peringkat ke-4). Meski berlabel timnas Galatama, kenyataannya ada beberapa pemain yang diambil dari skuad timnas Garuda (U-23) yaitu Hermansyah, Marzuki Nyak Mad, dan Sain Irmis. Ditambah satu-satunya pemain dari kompetisi Perserikatan yakni Adolf Kabo dari Perseman Manokwari. [caption id="attachment_171729" align="aligncenter" width="530" caption="Skuad Timnas Indonesia di Pra Piala Dunia 1986. Sumber Foto PersibMagz (scan repro)"][/caption] Kembali ke wacana penentuan timnas, mungkin usul dari Dedy Gumelar (Mi'ing) ini perlu dipertimbangkan. Masih besarnya ego dari masing-masing kompetisi maupun para pemainnya, tampaknya sulit untuk menyatukan mereka dalam satu komposisi tim nasional. Dua event besar yang akan dihadapi oleh PSSI adalah Piala AFF di akhir tahun dan Sea Games 2013. Gengsi dari Piala AFF lebih besar dari Sea Games. Maka, jika usul ini terjadi, pemenang antara timnas ISL dan timnas IPL berhak mewakili Indonesia berlaga di Piala AFF. Sedangkan yang kalah "harus rela" bertanding di Sea Games. Tapi, ada satu syarat yang harus dipenuhi dari penentuan timnas ini. Siapapun yang akan mewakili Indonesia nanti, tak ada lagi diskriminasi dan kesombongan bahwa kompetisi mereka lah yang paling hebat dan prestisius. Jika ada pemain IPL yang dibutuhkan timnas ISL, akuilah bahwa pemain itu memang layak. Begitu pula sebaliknya. Harapan sesungguhnya bukanlah adu kuat antar timnas ISL dan IPL. Tapi, pelepasan ego dan mengedepankan semangat kebersamaan persatuan untuk membela nama Indonesia dan mengibarkan sang Saka Merah Putih. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H