Dari penelusuran tersebut, terlihat bahwa BAORI terbentuk sebagai bagian dari AD/ART KONI, sedangkan BAKI yang dibentuk oleh Komite Olimpiade Indonesia bermaksud menyesuaikan induknya yaitu IOC yang mengadopsi keberadaan Badan Arbitrase Olahraga Internasional (CAS) sebagai badan arbitrase olahraga tingkat nasional.
Keberadaan dua badan arbitrase olahraga ini tak lepas dari munculnya Komite Olimpiade Indonesia, yang merupakan perubahan bentuk dari Komisi Hubungan Luar Negeri KONI. Fungsi KOI adalah melaksanakan keikutsertaan Indonesia dalam pekan olahraga internasional sepertiOlimpiadr, Asian Games, Sea Games, dan lain-lain. Fungsi ini sebelumnya merupakan bagian dari fungsi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan dipisahkan dari KONI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga.
Selanjutnya, dalam Rapat Koordinasi KONI di Surabaya30-31 Oktober 2010 sebenarnya sudah disiapkan agenda untuk membahas keberadaan BAKI sebagai pengganti BAORI serta reunifikasi KONI dan KOI. Sayangnya, tidak ada pemberitaan lebih lanjut tentang hasil pembahasan tersebut.
Menilik pernyataan Ketua KOI Rita Subowo diatas, dengan terbentuknya BAKI, otomatis keberadaan BAORI sebenarnya sudah tidak dianggap lagi. Apalagi pasal dalam AD/ART KONI yang dipakai sebagai dasar BAORI ternyata bertentangan dengan pasal 88 ayat 3 UU SKN (Sistem Keolahragaan Nasional) yang menyatakan bahwa ''Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan yang sesuai dengan yurisdiksinya''.
Sesuai yurisdiksinya dalam hal ini dimaksudkan perkara yang dipersengketakan. Karena itulah PSSI membawa sengketa saham PT. Liga Indonesia kepada Pengadilan Negeri sebagai kasus perdata. Sesuai dengan pasal 38 ayat 1 diatas, seharusnya KONI ataupun BAORI menegur PSSI ketika membawa kasus ini ke pengadilan negeri, tapi nyatanya tidak. Sistem CAS pun seperti itu. Karena itulah mereka menolak gugatan yang dilayangkan La Nyalla Matalitti dan mantan anggota Exco lainnya serta beberapa klub ISL yang menggugat PSSI dan menyebutkan CAS "has no jurisdiction".
Kembali ke masalah hasil sidang arbitrase, sebenarnya apa yang sudah diungkapkan anggota Majelis Etik PSSI, Todung Mulya Lubis mengenai putusan CAS yang sudah mengikat, seharusnya itu disadari oleh KONI karena sesuai dengan AD/ART mereka sendiri tentang Badan Arbitrase Olahraga. Pasal 39 ayat 5 berbunyi "Putusan Badan Arbitrase Olahraga bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa." CAS sudah menggugurkan gugatan La Nyalla Matalitti dkk serta menolak permintaan putusan sela yang diajukan KPSI untuk melindungi KLB mereka. Dalam salah satu artikel tentang arbitrase yang ditulis oleh William McAuliffe dan Antonio Rigozzi di situs globalarbitrationreview.com, putusan sela dari CAS dikeluarkan karena urgensi kejadian yang dipersengketakan. Karena itu jika putusan CAS dikeluarkan setelah kejadian perkara, maka putusan tersebut sudah tidak bermanfaat lagi. Karena itu jika CAS menolak permintaan putusan sela untuk tuntutan KPSI agar Kongres Tahunan PSSI dihentikan dan KLB dikawal oleh FIFA, sementara proses terjadinya KLB dan Kongres Tahunan sudah terjadi, berarti putusan CAS tersebut sudah dianggap final.
Kita berharap agar KONI sebagai penengah bisa melihat fakta ini dan tidak menjilat ludahnya sendiri sewaktu Ketua Umum KONI meminta semua pihak yang bersengketa menghormati apapun putusan CAS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H