Ungkapan "Tak Kenal Maka Tak Sayang" rupanya berlaku juga dalam proses promosi sebuah lagu. Dilatarbelakangi tujuan untuk menjadikan sebuah karya musik bisa dikenal dan diterima oleh publik, seorang musisi ataupun band yang ingin eksis di dunia musik ternyata harus melalui perjalanan yang boleh dikata cukup panjang dan penuh tikungan tajam, serta membutuhkan usaha dan pengorbanan yang tidak main-main untuk mendapatkan pengakuan dari khalayak luas.
[caption id="attachment_400845" align="aligncenter" width="300" caption="Ditemani Nadya Fathira, One Room memperkenalkan diri kepada para Kompasianer. Dari kiri ke kanan: Firdaus (drum), Aden (gitar), Ulil (vokal), Leo (Bass), Reza (gitar)"][/caption]
Fakta penting inilah yang diangkat dalam "Kompasiana Ngulik: Ngobrolin Komersialisasi Lagu", pada hari Jumat (27/2) lalu. Menghadirkan One Room (salah satu band jebolan ajang Meet The LAbels), ngobrol-ngobrol yang kali ini kembali dipandu oleh Composer Nadya Fathira menjadi bukan sekedar obrolan nihil belaka.
Kepada para Kompasianer, Ulil (vokal), Aden (gitar), Firdaus (drum), Leo (bass), dan Reza (gitar) membagikan pengalaman bermusik mereka, termasuk suka-duka pembentukan One Room dan usaha-usaha apa saja yang sudah mereka lakukan untuk mempertahankan eksistensi di hati penikmat musik.
Di tengah perjalanan mereka mencari jati diri dalam berkarya, One Room, yang semua personelnya ternyata sama-sama menjadikan musisi-musisi kenamaan seperti Queen, Led Zeppelin, Bon Jovi, sampai Iwan Fals sebagai role model mereka dalam bermusik ini pun dihadapkan pada satu challenging keyword, yaitu "Komersialisasi".
Kata kunci ini yang kemudian menjadikan bermusik tidak hanya sekedar penyaluran hasrat seni biasa bagi mereka. Jika sebelumnya mereka menganggap musik hanya sebagai hobi dan sarana pelepasan adrenalin semata, komersialisasi menantang mereka untuk menciptakan suatu terobosan berupa karya sensasional berkualitas yang mampu merangsang minat pendengar.
Ego dan musical taste mereka secara individual pun mesti bertarung melawan ketatnya persaingan di industri musik saat ini. Selera pasar menjadi salah satu faktor penentu jenis musik seperti apa yang akan mereka lemparkan ke publik.
Kelima personel One Room ini sepakat mengartikan bahwa suatu karya seni dapat dikatakan bernilai komersil jika karya tersebut memiliki nilai jual yang tinggi (ditinjau dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi)."Masyarakat gak akan peduli siapa kita sebelum karya kita keluar, makanya kita berusaha membawakan lagu sebaik mungkin pada saat proses recording berlangsung", ungkap Aden, sang gitaris.
Mereka meyakini bahwa setelah karya musik mereka dilempar ke pasaran dan kemudian berhasil memikat pendengar, di situlah publik akan mulai penasaran dan mencari tahu siapa kreatornya. Dari sinilah, proses menuju "komersialisasi" dimulai. Ajang "Meet The LAbels" pun menjadi jembatan bagi mereka untuk merintis langkah awal menuju gerbang kesuksesan.
Para personel One Room mengakui bahwa perjalanan yang mereka lalui untuk sampai ke tahap sekarang tidaklah mudah. Selain mereka harus bersaing dengan kontestan-kontestan lain yang tak boleh dianggap remeh, mereka pun harus berjuang cukup keras melawan musical idealism mereka sendiri, layaknya anak muda pada umumnya. Proses rekaman yang terhitung sederhana mereka lalui untuk bisa ikut bertarung dalam ajang "Meet The LAbels".
Semua ini mereka lakukan bukan hanya sekedar iseng atau trial and error saja, tetapi tentunya mereka punya goal yang ingin mereka capai untuk membuktikan keseriusan mereka demi meraih kesuksesan dalam bermusik.