"Yen ing tawang ono lintang, cah ayu..
Aku ngenteni tekamu..
Marang mega ing angkasa..
Ingsun takokke pawartamu.."
Aku masih ingat, kapan pertama kali aku menyanyikan lagu keroncong ini, di pementasan Langgam Jawa Bestari, 21 April 1972. Malam itu kau datang dengan jas almamater kampus kebanggaanmu. Duduk di barisan paling depan. Aku pun tak bisa lupa rupamu kala itu. Sorot matamu tajam menatapku, tak sedikitpun berpaling ke arah lain. Gagah. Berwibawa. Menggetarkan. Menyihir tulang rusukku hingga ke sum-sumnya, sendiku seketika tak mampu lagi menahan ragaku, remuk.
Hanya satu hal yang tak bisa kuingat kala itu, yaitu diriku sendiri. Dengan kata lain, aku lupa diri.
Sejak itu, setiap menyanyikan lagu ini.. Aku pasti teringat padamu.. Hanya kamu.. Pria yang mampu meluluhlantakkan benteng pertahananku.. Sejak engkau melarutkan semua keputusasaan dan ketidakyakinanku akan cinta..
Darimu, akupun paham, cinta bukan sesuatu yang bisa dinilai dengan materi, yang biasa kuperoleh dengan menjajakan suaraku dari kampung ke kampung. Bagiku kala itu, cinta itu barang murahan, yang bisa dibeli dan dibuang kapan saja seenaknya.
"Baskoro..", sayup-sayup kudengar seorang kawanmu menyebut namamu, sesaat setelah pementasan usai.
Entah kekuatan apa yang kau miliki. Sejak itu namamu bagaikan sihir pembius yang menjalar kuat ke jiwaku, menjadi nafas di setiap dendang yang kubawakan.
Siapa kamu? Aku tak pernah tau.