Berdasarkan angka perolehan di atas, TPK Koja tercatat mampu melampaui JICT lima kali lipat dalam hal deviden yang disetorkan untuk negara. Hal ini tak terlepas dari visi, misi, dan nilai yang diyakini (belief) oleh para pekerja akan masa depan TPK Koja di masa mendatang.
Namun, imbalan apa yang diterima oleh TPK Koja beserta pekerjanya selain masa depan yang tidak jelas?
Sekilas, perpanjangan kontrak HPH di TPK Koja memuat klausul yang boleh dianggap menguntungkan Pelindo II, memuat kewajiban Hutchison Port Holdings (HPH) selaku investor dari Hongkong untuk membayar rental fee setiap tahun sebesar US$ 35 juta. Kenyataanya, rental sebesar itu pun dibayar oleh TPK Koja sendiri, bukan oleh HPH.
Dari sini, HPH seakan tak melakukan investasi, melainkan berpesta pora. Besaran angka ini menimbulkan kecurigaan, apalagi penelitian yang dilakukan Pansus DPR-RI tentang Pelindo II, menyebutkan angka tersebut diduga tanpa valuasi sama sekali. HPH bukannya tidak tahu, tetapi mimpi memonopoli pelabuhan Tanjung Priok nampaknya menjadi objective goal untuk menyiapkan dana berapapun dan resiko apapun.
Selain itu, audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan terdapat kerugian Negara sebesar Rp. 1,08 triliun.
Karena itu, DPR RI mendesak pemerintah untuk membatalkan perpanjangan kontrak HPH karena terindikasi melanggar UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dan merugikan keuangan Negara sesuai dengan hasil audit investigasi BPK.
Sesungguhnya berbagai torehan prestasi dan ide-ide brilian yang ditorehkan anak bangsa di perusahaan berkelas internasional seperti PT. JICT danTPK Koja semakin memberi bukti bahwa kemampuan SDM kita tak bisa dianggap remeh.Â
Selama bertahun-tahun, para pekerja PT. JICT dan TPK Koja mengasah keahlian di perusahaan tempat mereka bekerja, hingga sangat ekspert menangani sistem yang paling sulit sekalipun. Inilah modal inti untuk berdikari.
Saat ini mungkin tak banyak lagi pejabat Pemerintahan bahkan publik yang ingat bahkan peduli dengan perusahaan yang bernama Kerjasama Operasional Terminal Petikemas Koja (KSO TPK Koja), apalagi  bila dibandingkan dengan perusahaan sejenis yang ada di sebelahnya yaitu PT.JICT.
Padahal sekitar tahun 1997, KSO TPK Koja pernah disebut-sebut sebagai Booming's Port untuk Asia Tenggara, mengingat berbagai fasilitas yang serba 'newest generation'pada waktu itu. Kenapa KSO TPK Koja tidak lagi bersinar seperti ketika pertama dilahirkan?
Pasalnya, direncanakan atau tidak berbagai upaya pengkerdilan KSO TPK Koja terus dilakukan baik dari sisi marketing communication ke publik maupun penyempitan lahan, baik karena disewakan oleh PT. Pelindo II kepada PT Graha Segara (depo petikemas) dan PT Aneka Kimia Raya untuk Instalasi Tanki Penyimpanan Bahan Bakar cair. Selain itu, yang lebih mengenaskan lagi adalah pengalihan lahan untuk perluasan Container Yard PT. JICT ke arah area TPK Koja.