Mohon tunggu...
Primas rizangfarichin
Primas rizangfarichin Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalis

Menulis dapat menjadikan untuk menambah wawasan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Terangnya Hati Bukan dari Terangnya Lampu

10 Januari 2021   00:37 Diperbarui: 10 Januari 2021   01:20 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mungkin kita tidak pernah tahu hati ini terasa gelap dan selalu bimbang. Karena itu hati kita membutuhkan pancaran sinaran dan sinaran yang membuat hati kita terasa nyaman dan damai. Terkadang hati kita terasa bimbang maka dari itu hati kita membutuhkan  asumsi -- asumsi pencerahan, dari asumsi tersebut bagaimana kita bisa mengelola dan mengamalkan kepada sekitar. Kita seharusnya menyadari bahwa di dunia ini tidak perindividuan melaikan berkelompok, kita dulu pernah mendengar dari kata "jadilah orang yang merasa bukan orang yang paling merasa".

Orang merasa dan paling orang merasa, disini memiliki berbagai bergai kontek atau unsur makna, dimana dua makna ini mengandung kecerendungan kepada sebuah perilaku yang mana perilaku ini sangat prepektif terhadap sosial dan lingkungan. Ada katahpepatah susu dan kopi memiliki warna yang berbeda akan tetapi keytika di perpadukan maka akan menjadi symbol dan kenikmatan yang tiada tara.

Adapun manusia dia memili berbagai suku, karakter, dan sifat. Di sini dimana semua orang akan di uji dengan berbagai pendapat dan berbagai pola berfikir seperti sebuah permainan kartu  dan di mainkan oleh kartu. Seperti hal-nya manusia terkadang mereka seolah -- olah berada di dalam sebuah permainan dunia dimana setiap orang akan memiliki ke egoisan dalam berfikir, berbalas dendam , dan menyimpan sebuah perasaan di dalam hatinya.

Maka dari itu kita harus belajar menghargai satu sama yang lain untuk menyambungkan tali persaudaraan dan tidak ada rasa denam sama satu yang lain supaya menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun