Mohon tunggu...
Andi Primaretha
Andi Primaretha Mohon Tunggu... karyawan swasta -

\r\nEducator and Search & Social Strategist\r\n

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Social Influence: Conformity, Cohesivity, and Compliance

16 Agustus 2011   05:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang harus dilakukan brand di social media adalah mengelola pengaruh sosial yang dihasilkan oleh para influencer melalui percakapan di social media. Tidak heran, sekarang makin banyak vendor social media monitoring baik lokal maupun luar yang menawarkan listening tool untuk mengetahui dan memetakan apa saja yang dibicarakan dan siapa para influencer yang memiliki pengaruh besar di social media. Sebelum saya membahas bagaimana strategi untuk mengelola influencer agar bisa membantu mensukseskan program brand kita di social media, mari kita pahami bagaimana pengaruh sosial bekerja di dalam sebuah masyarakat atau komunitas secara khusus. Conformity Motivasi manusia (individu) dalam melakukan sebuah tindakan tidak terlepas dari pengaruh sosial yang hadir di dalam lingkungan sosial di sekitar manusia (individu) tersebut. Tindakan disini bisa berupa pengambilan keputusan terhadap sesuatu atau bentuk perilaku tertentu. Apapun tindakanya, seorang manusia (individu) hampir dipastikan tidak pernah bisa keluar dari pengaruh sosial di sekelilingnya. Hal ini terjadi karena kita berusaha untuk mematuhi norma sosial yang terbentuk di dalam lingkungan kita. Norma sosial disini adalah seperangkat aturan-aturan yang telah disepakati dan disetujui oleh sebuah masyarakat atau komunitas sebagai pedoman untuk mengatur apa yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, hadirlah konsep tentang konformitas yang menjelaskan bahwa individu mengubah/menyesuaikan sikap dan perilakunya karena adanya norma sosial yang telah dipegang oleh anggota komunitas atau individu lainya di dalam lingkungan sosial dimana individu tersebut tinggal / hidup. Manusia mencoba untuk menmenuhi konformitas tersebut agar dapat diterima di dalam lingkungan sosial dimana ia tinggal tersebut. Contoh, seseorang yang ingin bergabung di komunitas Gila Motor, harus memanggil anggota lainya dengan sebutan “Bro” dan “Sis” agar bisa diterima masuk menjadi bagian di dalam komunitas mereka. Cohesivity Memang benar bahwa apa yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari norma sosial yang berlaku di lingkungan sosial dimana ia tinggal. Tetapi, sejauh atau sekuat apa norma sosial tersebut bisa mengikat seorang individu itu untuk benar-benar patuh terhadap norma sosial yang berlaku di sebuah komunitas atau masyarakat. Tentu teman-teman sudah sering mendengar istilah engagement di ranah social media bukan? Nah, kohesivitas bisa diartikan sebagai engagement. Kohesivitas adalah sejauh mana kita tertarik pada sebuah komunitas/masyarakat dan ingin menjadi bagian dari dirinya. Semakin sebuah komunitas itu menarik di mata seorang individu, maka semakin patuh orang tersebut untuk mentaati norma-norma sosial yang ada. Ini perlu dipahami oleh para pemilik brand yang bersungguh-sungguh ingin menciptakan komunitas brand yang besar dan berdampak bagi bisnis mereka di social media. Besar atau kecilnya kohesivitas (engagement) di dalam komunitas, tidak melulu diukur dari banyaknya fans atau followers yang dikumpulkan brand di akun FB dan Twitternya. Klout salah satu alat ukur yang bisa mengevaluasi kohesivitas dari sebuah akun di social media secara kuantitatif. Berikut contoh mengapa total jumlah follower tidak mengindikasikan kualitas kohesivitas atau engagement di dalam sebuah komunitas: Jumlah followers dari Raditya memang tidak lebih banyak dari Sherina, tetapi angka Kloutnya lebih tinggi 8 nilai dibanding dari Sherina. Ini karena Raditya lebih sering ngobrol dengan followernya dibanding apa yang dilakukan oleh Sherina di Twitter. Ini juga mengindikasikan bahwa Raditya lebih influential , lebih mampu mempengaruhi followersnya dibanding Sherina dengan satu juta + followersnya tersebut. Compliance Setelah kita paham tentang konsep konformitas dan bagaimana faktor kohesivitas memainkan peranan penting dalam menciptakan dan mengoptimalkan sebuah pengaruh sosial, sekarang kita akan membahas salah satu teknik dalam membuat pengaruh sosial yaitu compliance (pemenuhan). Kita seringkali sulit untuk menolak permintaan dari seseorang yang dekat dengan kita. Ada kalanya kita ingin menolak tetapi karena sudah memiliki hubungan yang dekat, maka pada akhirnya kita mengiyakan permintaan orang tersebut. Teknik ini yang dimanfaatkan oleh para brand ketika mengkontak para paid buzzer atau paid influencer untuk minta komunitas mereka juga untuk memfollow akun brand tersebut di Twitter. Saya termasuk yang membolehkan teknik ini hanya pada awal-awal komunitas brand di bentuk untuk mencari cukup massa. Setelah itu, saya sarankan kepada para pemilik brand untuk dapat pengaruh dari influencer secara organic atau tidak berbayar. 3 poin (conformity, Cohesivity, Compliance) diatas adalah beberapa konsep dasar yang perlu diketahui untuk memahami bagaimana pengaruh sosial bekerja. Di tulisan selanjutnya,Influencer Strategy and Management Model, saya akan menjelaskan apa dan bagaimana brand mampu mendekati para influencer dan bekerjasama dengan mereka untuk mengoptimalisasi komunitas brand kita di social media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun