Pagi ini publik di Indonesia diramaikan oleh kabar perentasan website resmi Badan Usaha Milik Negara Telkomsel oleh seorang hacker yang berinisial anonymous. Saat  situs tersebut terbuka, website tersebut tidak dapat dijangkau dan judul website tersebut berubah menjadi kata makian, Fu*k Telkomnyet!. Publik pun terkejut dengan perubahan tampilan page dengan layar hitam yang berisi kata-kata caci makian yang ditinggalkan oleh sang hacker.Â
Rupanya sang hacker yang merentas website ini mencoba untuk menyinggung biaya internet Telkomsel yang dinilai mahal. Dalam halaman pengganti ini sang hacker mengungkapkan kekecewaanya atas kuota internet yang dijual oleh Telkomsel yang terbagi-bagi dalam 2G/3G/4G. Sang hacker pun selain menilai tarif internet Telkomsel yang kian mahal, ia juga mengatakan bahwa layanan streaming film dan kuota musik seperti HOOQ dan VIU yang ditawarkan oleh operator Telkomsel tidak terlalu penting. Singkat kata dalam bahasa caci maki yang ditinggalkanya, dia berharap pihak Telkomsel dapat menurunkan harga menjadi lebih murah dengan paket kuota internet.Â
Ungkapan hati sang perentas ini tentunya mendapat serangkaian tanggapan yang berbeda dari berbagai pihak. Diluar pihak Telkomsel yang sudah menyampaikan permohonan maafnya atas ketidaknyamanan yang dirasakan oleh para pelanggan setianya, namun ada pulak netizen yang merasakan situasi yang sama dengan apa yang dijabarkan oleh sang hacker. Seiring laju deras kemajuan teknologi di era 21 ini, pengungkapan rasa kekecewaan dan komplain semacam perentasan ini memang sulit untuk dihindari.Â
Memang cara Julian Assange dan Snowden berbeda dengan kasus perentasan website Telkomsel, Namun, mereka bisa dikategorikan sebagai "hacker" yang memiliki kemampuan teknologi yang sama untuk melakukan perentasan untuk menyampaikan suara yang disampaikan ke publik. Kita tahu berapa banyak dokumen yang dicuri oleh Julian Assange dan ditampilkan dalam situs Wikileaks, ya bisa dikatakan data tersebut ilegal karena ada tidak adanya pengajuan ataupun izin resmi dari pihak yang dilibatkan.Â
Namun publik pun kini dapat menilai apakah memang para "pemberontak" yang lihai dalam merubah sistem teknologi ini memang dimaksudkan untuk merusak atau bahkan menyampaikan fakta yang seharusnya tidak ditutupi. Sudah jelas ada pasal ITE yang dilanggar dalam aksi mereka, namun pemberontak seperti mereka hadir dalam kemajuan teknologi yang memaknai kebebasan berpendapat dalam perentasan. Publik pun tau tidak adanya hukum yang kuat untuk melindungi para perentas semacam ini yang pada akhirnya mereka menjadi bahan pemburuan pihak berwajib untuk dipenjarakan.Â
Banyak dari para hackers yang mencoba melarikan diri setelah melakukan aksi perentasanya, namun tidak banyak yang memiliki nasib sama seperti Julian Assange dan Snowden yang mendapat perlindungan hukum dan suaka dari negara lain. Terlepas apakah perentasan ini beretika ataupun tidak, semoga kasus seperti ini bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi keduanya untuk saling mengoreksi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H