Akhir pekan kemarin, saya menyempatkan diri untuk menonton Si Doel the movie. Â Berangkat dengan membawa rasa penasaran karena ingin tahu akhir kisah drama cinta segitiga dan penasaran dengan keadaan Si Doel masa kini.
Booming dan sukses penayangan di Belanda menambah rasa penasaran saya.
Di sore hari, bioskop di pinggiran Jakarta Timur ini hanya terisi setengah. Â Jenis penonton mayoritas warga betawi atau keturunan betawi yang tergusur ke pinggiran seperti pada umumnya.
Hal ini terlihat dari tampilan mereka ditambah keluhan dari petugas cleaning di toilet bioskop yang mengeluh karena penonton pada hari itu tidak dapat menggunakan kamar kecil dengan semestinya.
Film dimulai, adegan demi adegan lepas. Â Mandra seperti biasa tampil memukau. Â Cerita cinta segitiga berlanjut. Â Hingga akhirnya film berakhir begitu saja.
Kecewa? Banget....
Seharusnya sebagai film idealis dari warga betawi, si Doel dijadikan tokoh panutan buat warganya. Â Sukses dalam karir dan di dalam rumah tangga. Â Apalagi sebagai seorang insinyur.
Kesuksesan yang diraih si Doel tidak harus  digambarkan dalam kemewahan harta, namun cukup dengan kehidupan sederhana namun tetap mapan.  Artinya tidak kekurangan dan tidak bergantung pada warisan.
Kemewahan juga bisa ditunjukkan dengan gelar haji yang diperoleh atas usaha sendiri bukan hasil jual tanah warisan seperti yang biasa dilakukan warga betawi.  Keluar track namun tetap memegang benang  merah sebagai warga betawi begitu seharusnya.
Jadi, jangankan jadi gubernur. Â Menjadi orang biasa yang sukses pun tidak. Â Ia hanya menjadi pecundang seperti kebanyakan lelaki betawi.
Tak ada yang bisa ditiru dan dijadikan pelajaran dari film ini. Â Padahal film ini benar-benar ditunggu pecintanya.