"Siapa pun presidennya, ya aku akan tetap seperti ini. Â Tidak bertambah kaya, tidak juga bertambah miskin. Mau naikkan BBM sampai ke langit, ya tetap saja susah-susahnya tidak tambah tidak juga berkurang. Penghasilanku akan selalu pas. Pas buat makan, pas buat sekolah anak-anak, dan pas untuk menghidupi keluargaku dengan gaya hidup yang pas-pasan juga," kataku pada sahabat SMA-ku yang mati-matian membela presiden yang didukungnya semenjak masih menjadi walikota di daerah.
Kebijakan apa pun yang diambil oleh pemerintah sekarang, selalu didukungnya dengan penuh semangat seolah-olah dialah salah satu pengambil dan penentu kebijakan itu. Mulai dari pemilihan menteri, lalu kartu sakti, dan terakhir kebijakan menaikkan tarif BBM. Semua dibela mati-matian. Siapa pun rekan yang mencoba membantah atau mengemukakan pendapatnya yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah akan segera dilibasnya.
Mula-mula dengan kata bijak, namun lama-kelamaan ketika argumentasi tak diterima ia mulai menyerang balik sang penentang itu hingga ke ranah pribadi. Kata yang halus tak lagi ada, tak jarang perdebatan berakhir dengan permusuhan.
Biasanya kami mengalah pada akhirnya. Bukannya karena menerima segala kata-kata pembelaan itu, namun lebih karena merasa apa pun yang kami perdebatkan sesungguhnya tak ada gunanya. BBM tetap naik, biaya hidup tetap naik, dan gaji pun biasanya akan segera naik. Jadi, ribut-ribut memang tak ada gunanya. Mau membela atau menentang pemerintah, buat rakyat macam kami memang benar-benar tak ada gunanya.
Aku dan kebanyakan orang di sekelilingku bukan wong cilik yang akan memperoleh kartu-kartu sakti karena tidak mampu atau hidup di bawah garis kemiskinan. Kami adalah orang-orang biasa yang masih bisa membayar biaya transportasi sehari-hari meski harga dinaikkan. Kami juga masih bisa makan tiga kali sehari walaupun dengan makanan seadanya yang penting sehat. Kami juga bisa memberi kesempatan kepada buah hati kami untuk menuntut ilmu walaupun di tempat sederhana.
Sederhana yang kami sandang adalah benar-benar kesederhanaan. Bukannya sekedar mengaku-ngaku sederhana, namun anak-anak sekolah di luar negeri, misalnya.
Sederhana kami adalah keadaan dengan ukuran yang kami miliki sendiri. Mencari nafkah dengan angkutan umum, makan makanan buatan sendiri dengan bahan seadanya dan ke klinik murah jika terpaksa harus ke dokter. Semuanya nikmat, karena hati dan pikiran kami sama sederhananya dengan keadaan yang kami miliki.
Temanku yang satu ini tak bisa memahami kesederhanaan yang kami miliki. Menurutnya setiap orang harus berubah. Harus seperti presidennya yang berangkat dari wong cilik kemudian berubah menjadi penggede.
"Tidak harus seperti itu, harus ada yang seperti kami di dunia ini. Â Orang-orang yang bahagia dengan keadaannya. Seberapa pun susah, seberapa pun kurangnya itu adalah dinamika hidup. Setiap orang punya jalan hidup sendiri-sendiri. Di satu negara cuma dibutuhkan satu presiden," jawabku sekenanya ketika temanku menuntut kami untuk lebih ekspresif dalam menjalani hidup.
"Hidup tanpa mengganggu apalagi sampai menyusahkan orang lain itu lebih berarti buat kami. Jadi presiden jika menyusahkan rakyat banyak juga percuma. Seperti sekarang dipuja rakyat sebanyak dihujat rakyat juga tak ada artinya kan?" candaku sambil berlalu dari hadapannya.
Aku tahu, ia pasti mencak-mencak mendengar kata-kataku. Â Aku tak peduli, Â seperti yang lain begitu banyak yang harus aku kerjakan selain mendiskusikan kebijakan pemerintah apalagi sampai membela-bela sambil mencari-cari pembenaran. Kebijakan pemerintah tidak pernah menguntungkan atau benar-benar merugikan orang-orang seperti aku. Tidak dulu, tidak juga sekarang.