Konflik pertanahan menjadi hal yang selalu dibicarakan dan tidak akan pernah selesai di Daerah Istimewa Yogyakarta. Praktik-praktik feodalisme yang masih langgeng cukup membuat konflik ini terus bertambah setiap tahun. Keraton Yogyakarta yang sekaligus menjadi pemerintahan provinsi menjadi penyebab utama melanggengnnya praktik-praktik feodalisme di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mulai dari pengangkatan Sri Sultan sebagai gurbenur tanpa adanya pemilihan hingga kebijakan "Sultan Ground".
      Kasus konflik pertanahan antara pemilik tanah dan pemerintah DIY menyebabkan keresahan bagi masyarakat terutama bagi yang tinggal di daerah Sultan Ground tetapi memiliki surat magersari. Surat magersari merupakan sebuah surat pernyataan atau kesepakatan yang menyatakan bahwa pemilik rumah menumpang di area Sultan Ground. Surat ini mirip dengan akta tanah. Akan tetapi dengan pernyataan tersebut maka pengguna lahan secara sukarela harus menyerahkan kembali lahannya jika suatu waktu diminta kembali oleh keraton. Dengan arti lainnya maka pengguna lahan tidak dapat menerbitkan surat hak milik. Begitu pula dengan pemilik tanah yang jelas-jelas memiliki SHM akan tetapi tanahnya berada di area keprabon, maka tanah tersebut akan tetap menjadi Sultan Ground.
      Dalam buku Teori Sosiologi Klasik dan Modern karya Doyle Paul Johnson (1994), saya menemukan teori konflik dalam perspektif Ralf Dahrendorf. Disebutkan bahwa Dahrendorf memusatkan perhatiannya tentang konflik kepada struktur otoritas dalam sebuah perusahaan industri ketimbang pada pola kepemilikan. Dahrendorf memiliki asumsi dasar bahwa sifat koodrdinasi adalah mengharuskan hubungan otoritas menjadi sifat dasar dari sebuah organisasi sosial yang menjadi pandangan fungsionalis. Meskipun menolak asumsi Marx soal pola kepemilikan menjadi kontrol perusahaan industri, Dahrendorf masih sangat mengikuti model dua kelas dalam struktur sosial yang bersinggungan dalam dinamika konflik. Menggunakan otoritas berarti mereka (kelas atas) memiliki kepentingan kelas untuk mempertahankan legitimasi dan status quo pada hubungan struktur otoritas. Sementara kelas bawah lebih menentang legitimasi struktur otoritas yang berlaku.
      Jika kita melihat konflik yang saya sebutkan di awal dengan teori di atas, maka konflik pertanahan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta karena ada otoritas kelas atas yaitu keraton dan pemerintah DIY yang berkepentingan untuk mempertahankan tanah keprabon atau Sultan Ground agar tanah kesultanan Yogyakarta tetap lestari nilai historis dan budayanya. Sementara kelas bawah yang diwakili oleh warga DIY atau lebih tepatnya pengguna lahan di area Sultan Ground menentang kepentingan kelas atas demi mempertahankan tempat tinggal mereka. Disamping itu, secara tidak sadar kelas atas juga memiliki kepentingan laten. Kepentingan tersebut seringkali tidak disadari oleh kelas bawah karena terlalu fokus kepada kepentingan yang pertama. Kepentingan laten tersebut adalah pembangunan bisnis parkiran dan penginapan milik keraton demi meraup pendapatan dengan dalih pengembangan wisata.
      Ralf Dahrendorf merupakan seorang sosiolog Jerman kelahiran Hamburg, Jerman pada tahun 1929. Masa-masa kelahirannya bersamaan dengan bangkitnya Nazisme. Pasca Perang Dunia II, Dahrendorf memulai karir politiknya sebagai anggota Parlemen Jerman Barat disamping dengan karir akademisnya. Dahrendorf mulai mempelajari filsafat dan karya klasik di Universitas Hamburg dan meraih gelar doktor pada tahun 1952. Setelah itu mengikuti postgraduate di bidang Sosiologi London School of Economics Pengaruh yang besar membuatnya ditunjuk sebagai direktur London School of Economics. Karyanya yang memiliki pengaruh dan kontribusi besar terhadap dunia sosiologi modern adalah Class Conflict in Industrial Society (1959) dan esai Theory of Society (1968).
Akhir kata "KTP ngendi mas?"
Referensi
Johnson, D. P. (1994). Teori Sosiologi Klasik dan Modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H