Mohon tunggu...
Prima Patriotika
Prima Patriotika Mohon Tunggu... -

Saya hanya ingin menulis... Menulis apapun sebagai pelipur lara... Sebagai Jeritan Hati... Sebagai buah pikiran, ide, dan pembelajaran...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggugat Tradisi: Ketika yang Berduka Harus Berpesta

23 Juni 2010   07:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:20 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang kita cintai untuk selama-lamanya ? sedih sudah pasti. Namun ternyata bukan hanya dominasi perasaan sedih saja. Ada perasaan-perasaan lain seperti shock, bingung, dan kaget... Namun dari kesemuaan perasaan tersebut, ada heran yang sangat menganggu pikiran saya mengenai prosesi pemakaman dan masa duka bagi sang keluarga. Sebuah tradisi yang tidak masuk di akal dan entah mengapa terus dilakukan. Tradisi yang bagi saya aneh adalah: 1. Bagi-bagi uang. Aneh bin ajaib ketika tante saya mengatakan harus memasukkan uang ke empat puluh amplop putih. Pada saat itu saya bertanya untuk apa. Dan ia pun menjelaskan bahwa uang itu akan dibagi-bagikan ke orang-orang yang menyolatkan. Aneh sekali kan... Men-sholatkan orang meninggal kan hukumnya fardhu kifayah... masa untuk mensholatkan sesama saudara se muslim harus di amplopin alias dibayar sih. 2. Tahlilan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari. Satu hal ini yang lagi-lagi membuat kening saya berkerut. Tradisi di sekitar rumah saya adalah bahwa keluarga yang berduka melakukan tahlilan atau pengajian dengan mengundang bapak-bapak selama tujuh hari berturut-turut. Okelah untuk pengajiannya, saya tidak keberatan. Pengajian dan mengumpulkan tetangga-tetangga bisa digunakan untuk meminta maaf terhadap orang-orang sekitar atas kesalahan almarhum/ah. Selain itu juga untuk mendoakan almarhum agar diampuni dosa-dosanya selama di dunia. Namun yang membuat aneh adalah selayaknya tuan rumah yang ditempati, keluarga yang berduka haruslah menyiapkan makanan kepada tetamu, membayar ustadz yang memimpin doa, dan lagi harus membagi-bagikan makanan atau sembako kepada tamu yg hadir tersebut. Duh, kok keluarga yg berduka harus disibukkan dengan pembagian-pembagian sembako atau makanan yang mengeluarkan dana tidak sedikit, padahal baru saja kehilangan orang yang dicintai. Tradisi aneh ini seakan-akan mengatakan bahwa keluarga yang berduka kok harus berpesta!!! Mungkin tradisi di jakarta tersebut masih cukup ringan dari pada di daerah-daerah lain yang diharuskan memotong hewan atau yang lainnya. Tapi, bukankah tradisi tersebut memberatkan? Bukankah hal itu justru menguras energi, materi, dan emosi keluarga yang berduka? padahal bisa jadi keluarga yg berduka tersebut sedang limbung menghadapi kehidupan masa datang dikarenakan tulang punggung keluarga merekalah yang dipanggil ke hadiratNya dan mendapat gelar almarhum. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun